Kontroversi Gelar Jenderal Kehormatan Prabowo: Dari Tabrak Aturan UU hingga Motif Politik Utang Budi

Al-Qadri Ramadhan
Presiden Jokowi dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. (Foto: setkab.go.id)
Presiden Jokowi dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. (Foto: setkab.go.id)

JAKARTA, Quarta.id– Pemberian gelar Jenderal Kehormatan kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pada Rabu (28/2) dinilai jadi catatan buruk dalam sejarah berbangsa dan bernegara Indonesia.

Analis politik dan keamanan dari Indonesia Future Studies Artha Siregar menyebut gelar tersebut tidak layak diberikan karena mekanismenya menyalahi ketentuan sejumlah undang-undang (UU).

BACA JUGA: Selain Prabowo, Tokoh Militer Ini Juga Pernah Diberi Gelar Jenderal Kehormatan Bintang Empat

Sedangkan menurut pengamat politik dan keamanan dari Universitas Padjadjaran Muradi, pemberian gelar Prabowo terkesan mengada-ada dan lebih bertujuan politik.

Alasan utama gelar Prabowo dipolemikkan karena dia telah diberhentikan dari dinas militer dalam kasus penculikan aktivis pada 1998.

Namun, di luar itu banyak alasan lain yang menunjukkan pemberian gelar Prabowo oleh Presiden Jokowi terkesan dipaksakan atau diada-adakan karena tidak sejalan dengan UU.

BACA JUGA: Presiden: Anugerah Pangkat Istimewa Prabowo Sesuai Undang-Undang

Artha Siregar mengatakan, sejak kehadiran UU No 34 tahun 2004 tentang TNI, tidak ada lagi ketentuan yang mengatur ketentuan mengenai Jenderal Kehormatan.

Nama-nama purnawirawan yang pernah mendapatkan gelar Jenderal Kehormatan seperti Agum Gumelar, Susilo Bambang Yudhoyono, Luhut Binsar Pandjaitan hingga AM Hendropriyono itu sebelum UU TNI ada.

“Jadi tidak ada perwira atau purnawirawan yang mendapat gelar Jenderal Kehormatan setelah UU TNI disahkan dan sebelum Prabowo sekarang ini,” ujarnya kepada Quarta.id Rabu (28/2/2024).

BACA JUGA: Prabowo Diberi Gelar Jenderal Kehormatan Bintang Empat, Pengamat: Apa Urgensinya?

Alasan Presiden dan pihak yang mendukung pemberian gelar Jenderal Kehormatan ke Prabowo bahwa kebijakan itu mengacu Pasal 33 dalam UU No 20 Tahun 2009 juga tidak tepat.

Artha menyebut kategori gelar yang di atur dalam UU tersebut hanya gelar Pahlawan Nasional bukan Jenderal Kehormatan.

Selain itu, lanjutnya, jika ingin konsisten menjalankan amanat UU 20 tahun 2009 ini, ada hal yang lebih penting dalam pemberian gelar, yaitu pasal 15 hingga 18 yang mengatur tentang Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

BACA JUGA: Pengamat: Gelar Jenderal Kehormatan untuk Prabowo Kebijakan Keliru dan Paradoks

Pasal 15 berbunyi: Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan dibentuk untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

Kemudian pasal 18 ayat 1 a dan b berbunyi: Tugas dan kewajiban Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan meliputi, pertama meneliti, membahas, dan memverifikasi usulan, serta memberikan pertimbangan mengenai pemberian Gelar.

BACA JUGA: ICW-KontraS: Pemilu 2024 Terburuk Sejak Era Reformasi, Tangan Presiden Jokowi Berperan

Kedua, meneliti, membahas, dan memverifikasi usulan, serta memberikan pertimbangan mengenai pemberian dan pencabutan Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.

Susunan keanggotaan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 5/M Tahun 2020 adalah Mahfud MD sebagai Ketua merangkap Anggota, Laksamana TNI (Purn) Agus Suhartono sebagai Wakil Ketua merangkap Anggota.

BACA JUGA: AHY Jadi Menteri Jokowi, Pengamat: Langkah Catur SBY Amankan Posisi di Kabinet Prabowo

Ada lima orang sebagai Anggota, yakni Moeldoko, Azyumardi Azra, Noer Hassan Wirajuda, Meutia Farida Hatta Swasono, dan Anhar Gonggong.

Menurut Artha, hal yang kemudian menjadi pertanyaan adalah apakah Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Kehormatan tersebut sungguh-sungguh bertugas memberikan pertimbangan kepada Presiden sebelum memberikan gelar Jenderal Kehormatan untuk Prabowo? 

BACA JUGA: Mahfud MD Sebut Presiden Tak Akan Lolos Sanksi Pidana Angket meski Telah Lengser

“Jika memang sudah diteliti, dibahas dan diverifikasi oleh Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, harusnya anggota Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan yang menjelaskan alasannya pada publik, bukan Jubir Menhan atau kader Partai Gerindra,” tekannya.

Politik Balas Budi

Prabowo dianugerahi Jenderal Kehormatan oleh Presiden Jokowi hanya berselang dua pekan setelah dinyatakan unggul sementara perolehan suara Pemilu Presiden 2024 berdasarkan hitung cepat quick count.

Jokowi dalam pilpres ini disinyalir memberi dukungan kepada Prabowo yang berpasangan dengan putranya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.

BACA JUGA: PSI Ngotot Bakal Lolos ke Parlemen, Burhanuddin Muhtadi: Mending Terima Kenyataan dan Lapang Dada

Pengamat politik dan keamanan Muradi menyebut, Prabowo tidak layak mendapatkan gelar Jenderal Kehormatan karena sudah diberhentikan melalui keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) dalam kasus penculikan aktvis.

Seharusnya, gelar yang diberikan kepada Prabowo harus didahului dengan pembatalan atas Keputusan Presiden (Keppres) yang memberhentikannya.

“Batalkan Keppresnya dulu dan katakan bahwa Prabowo tidak pernah diberhentikan serta hapus semua rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira lalu buat Keppres baru,” jelasnya.

BACA JUGA: Hasil Quick Count: PSI Kembali Gagal Masuk DPR Senayan, Perolehan Suara Hanya Lebih 2%

Menurutnya, tidak perlu diperdebatkan soal dikotomi bahwa Prabowo hanya diberhentikan bukan dipecat, atau bukan berhenti tidak hormat tapi berhenti dengan hormat. 

“Intinya, dia berhenti dalam kondisi tidak normal, bukan pensiun. Dan dalam militer hal semacam itu sesungguhnya aib,” ujarnya.

Motif politik atas gelar kehormatan Prabowo disebut justru lebih kelihatan.

Muradi mengatakan, Jokowi seperti ingin menitipkan anaknya kepada Prabowo yang kemungkinan akan dilantik sebagai presiden pada Oktober 2024.

BACA JUGA: Hubungan Mega-Prabowo Baik, PDIP Tak Bakal Bertahan Lama Jadi Oposisi?

Dia menyebut pemberian gelar ke Prabowo sebagai politik utang budi.

“Seolah Presiden sedang menitipkan anaknya kepada Prabowo agar dididik menjadi wakil presiden yang baik. Di sisi lain, Prabowo itu sosok yang selalu ingat utang budi kepada orang lain, Jadi di sini Presiden seperti sedang menanam utang budi,” tandasnya.

Ikuti Kami :
Posted in

BERITA LAINNYA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *