Tragedi Kendari: SOS Perlindungan Perempuan dan Anak!

Al-Qadri Ramadhan
Ilustrasi anak korban kekerasan. (Foto: X/ Kemen PPPA)
Ilustrasi anak korban kekerasan. (Foto: X/ Kemen PPPA)

MUSIBAH tiga balita meninggal dunia akibat terbakar di Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (6/5/2025), jadi potret nyata minimnya peran negara dalam melindungi perempuan dan anak.

Pemerintah perlu lebih serius membuat langkah sistemik dalam melindungi perempuan dan anak jika tidak ingin tragedi serupa terulang.

BACA JUGA: Alarm Darurat Perundungan Anak!

Tiga balita, yakni AZP (1), AN (2,5), dan ANP (2,5) meninggal saat api melalap rumah orang tuanya di Kelurahan Punggolaka, Kecamatan Puuwatu, Kota Kendari. Polisi menelusuri kemungkinan unsur kelalaian, karena saat kejadian sang ibu diketahui meninggalkan keempat anaknya tanpa pengawasan orang dewasa.

Berkaca pada musibah di Kendari tersebut, ada dua hal yang butuh perhatian serius. Pertama, perlu ketegasan pemerintah dalam menegakkan aturan larangan perkawinan anak.

BACA JUGA: Kasus Perundungan Anak Kian Marak, Ini Tindakan Kementerian PPPA

Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindangan Anak menunjukkan masih tingginya kasus perkawinan anak di Tanah Air. Pada 2021 terdapat 63.000 pernikahan anak. Kemudian, pada 2022 jumlah perkawinan anak mencapai 52.000, dan pada 2023 sebanyak 31.000.

Kedua, pemerintah melalui struktur di tingkat paling bawah perlu memberi pendampingan kepada orang tua tunggal. Banyak masalah yang harus ditanggung orang tua tunggal yang membuat hidup mereka rentan dan berisiko tinggi.

BACA JUGA: Ini Tanda-tanda Awal Perundungan di Sekolah, Guru Wajib Kenali

Siska Amelia, ibu dari ketiga balita malang tersebut baru berusia 23 tahun, namun sudah tiga kali menikah dan sudah memiliki lima anak. Artinya, dia menikah saat usianya belum memenuhi syarat berdasarkan UU Perkawinan yakni minimal 19 tahun.

Menjadi orang tua di usia yang masih sangat muda rawan memicu banyak problem, di antaranya pola pengasuhan anak yang salah, selain sang ibu yang rawan mengalami gangguan kesehatan baik fisik maupun mental.

BACA JUGA: Australia Resmi Larang Anak di Bawah 16 Tahun Main Medsos, Alasannya Bisa Rusak Kesehatan Mental

Kepala Pusat Kajian Gender dan Anak IPB University, Yulina Eva Riany, menyebut tragedi di Kendari tersebut bukan hanya sebuah musibah rumah tangga, tetapi juga mencerminkan potret kegagalan sistemik perlindungan perempuan dan anak di Indonesia.

“Sang ibu, Siska Amelia, baru berusia 23 tahun dan telah memiliki lima anak dari tiga kali pernikahan, menunjukkan adanya masalah yang jauh lebih dalam: yaitu kegagalan sistem dukungan sosial dalam mencegah perkawinan anak dan menyediakan pendampingan bagi orang tua tunggal,” ujarnya kepada Quarta.id.

BACA JUGA: Hari Gizi Nasional dan Ancaman Obesitas pada Anak Indonesia

Keputusan si ibu meninggalkan empat anak sendirian selama berjam-jam mencerminkan kurangnya pemahaman akan tanggung jawab pengasuhan. Padahal, pengasuhan yang aman seharusnya menjadi pengetahuan dasar bagi setiap orang tua.

“Usia balita sepenuhnya bergantung pada orang dewasa. Balita tidak memiliki kemampuan mengenali tanda bahaya atau menyelamatkan diri saat darurat. Ketika ditinggalkan sendirian, risiko kehilangan nyawa semakin besar,” katanya.

Yulina juga menyoroti minimnya dukungan sosial bagi perempuan, utamanya bagi mereka yang menikah di usia dini.

BACA JUGA: Mpox Juga Menyerang Anak-anak, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Ungkap Penyebabnya

Siska dipastikan bukan satu-satunya. Dia hanya satu di antara ribuan perempuan Indonesia yang melakukan pernikahan dini dan tidak diikuti dengan kesiapan emosional, ekonomi, maupun sosial untuk menjadi orang tua.

Sistem sosial disebut gagal memberikan perlindungan yang memadai, baik berupa edukasi, konseling, maupun pendampingan pascapernikahan. Setelah perceraian terjadi, ketiadaan jejaring dukungan dari keluarga atau komunitas membuat beban pengasuhan sepenuhnya jatuh di pundak seorang single parent dengan usia yang masih sangat belia dan masih berjuang mencari identitas serta stabilitas hidupnya.

BACA JUGA: Anak Kerap Saksikan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Ini Pengaruh Buruknya di Masa Depan

Tragedi di Kendari tersebut juga mencerminkan lemahnya keberadaan dan peran mekanisme perlindungan anak di tingkat komunitas, seperti kader perlindungan anak, Posyandu, atau forum anak. Padahal peran mereka melakukan pemantauan kondisi keluarga berisiko tinggi.

“Lingkungan tempat tinggal yang tidak aman, tanpa alat deteksi kebakaran atau jalur evakuasi, memperparah fatalitas ketika bencana terjadi. Ini adalah cerminan dari absennya kesadaran publik dan kebijakan lokal tentang mitigasi risiko rumah tangga.

BACA JUGA: Waspada, Remaja Rentan Alami Kekerasan Seksual Saat Gunakan Aplikasi Kencan

Yulina berharap tragedi di Kendari menjadi alarm nasional. Dibutuhkan langkah bersama mencegah perkawinan anak, memperkuat edukasi pengasuhan aman, menyediakan pendampingan bagi ibu muda utamanya single parent. Juga perlu memperluas akses bantuan sosial, serta membangun sistem perlindungan anak yang benar-benar hadir hingga ke tingkat keluarga.

“Anak-anak adalah investasi masa depan bangsa yang harus dilindungi dari lingkaran kerentanan dan kekerasan yang bisa dicegah.

Ikuti Kami :
Posted in

BERITA LAINNYA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *