JAKARTA, Quarta.id- Laman Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta fkkmk.ugm.ac.id, pada 2023 lalu menyebut, 5 hingga 10 persen anak Indonesia mengalami keterlambatan kemampuan berbicara atau speech delay.
Pada sebuah forum diskusi, dr. Retno Sutomo, Sp.A(K), Ph.D. dari FKKMK UGM menyampaikan fakta tersebut. Bahkan menurut Retno, di RSUP Dr. Sardjito, 50% pasien yang datang ke Klinik Tumbuh Kembang (pada 2023, red) mengalami kasus yang sama, yaitu keterlambatan bicara.
Laman yang sama menyebut, masalah keterlambatan bicara menurut dr. Retno tidak hanya terjadi karena adanya gangguan perkembangan, terutama dalam hal bahasa dan berbicara.
BACA JUGA: Anak Kerap Saksikan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Ini Pengaruh Buruknya di Masa Depan
Gangguan fungsi pendengaran merupakan salah satu penyebab keterlambatan bicara yang jarang terdeteksi oleh orang tua. “Ada banyak kasus terlambat bicara ternyata penyebabnya adalah gangguan fungsi pendengaran, namun hal ini terlambat diketahui sehingga kasus tersebut lebih sulit untuk ditangani,” tambah Retno.
Apabila terlihat tanda-tanda adanya gangguan pendengaran pada anak, orang tua harus segera membawanya ke fasilitas kesehatan terdekat.
“Tanda adanya gangguan pendengaran adalah anak tidak merespon ketika mendengar suara. Respon yang diberikan oleh anak biasanya berkedip, atau akan meningkat menjadi menoleh seiring dengan bertambahnya usia,” jelas dr. Retno.
BACA JUGA: Saat Berdiskusi dengan Anak, Orang Tua Jangan Berhenti pada Kata “Tidak Boleh”
Padahal, janin sejak usia 22 minggu sudah bisa mendengar. Oleh karena itu, dianjurkan kepada calon orang tua dan orang tua untuk aktif mengajak janin berbicara sejak masih di dalam kandungan.
Selain gangguan fungsi pendengaran, keterlambatan bicara pada anak juga dipengaruhi oleh kelahiran prematur dan berat badan rendah saat lahir. Maka dari itu, seorang ibu memiliki kewajiban untuk memenuhi nutrisi dirinya dan janin yang ia kandung supaya berkembang dengan baik.
Salah satu yang harus diperhatikan adalah stimulasi yang diberikan kepada anak. Dalam masa perkembangannya, anak harus banyak diajak bicara secara langsung. Memberikan tontonan berupa video dan acara televisi (screen time) tidak memberikan dampak positif bagi perkembangan anak.
Hubungan antara Screen Time dan Speech Delay
Perlu diketahui, anak belajar berbicara dan berkomunikasi melalui interaksi dengan orang lain. Ketika masa tumbuh kembangnya diisi screen time dengan menonton tayangan di televisi maupun gadget lainnya, kemampuan berbahasa ekspresif anak berisiko tidak berkembang baik.
“Karena saat screen time anak hanya mendapat stimulasi bicara satu arah. Sedangkan yang dibutuhkan untuk perkembangan berbahasa dan berbicaranya adalah komunikasi dua arah,” ulas laman klinikpintar.id.
BACA JUGA: Hari Gizi Nasional dan Ancaman Obesitas pada Anak Indonesia
Laman yang sama menyebut, beberapa tahun pertama kehidupan, otak reseptif anak sedang belajar bahasa baru dan membangun jalur komunikasi. Ketika jalurnya tak terbentuk akibat hanya mendapatkan stimulasi searah, tidak dimungkiri kemampuan berbahasa dan berbicaranya lambat berkembang.
Dikutip dari American Academy of Pediatrics, sebuah studi dari rumah sakit anak di Kanada pernah mengamati hampir 900 anak-anak usia enam bulan dan dua tahun.
Mereka menemukan bahwa balita yang sering menggunakan gadget cenderung mengalami keterlambatan kemampuan bahasa ekspresif. Kemampuan anak untuk mengucapkan kata-kata dan kalimat juga lebih lambat.
BACA JUGA: Mengenal Platform “Penjaring”, Diluncurkan Kemendikbudristek untuk Tingkatkan Literasi Anak-anak
Peneliti juga menemukan bahwa tiap tambahan 30 menit screen time sehari, risiko speech delay meningkat sebanyak 49 persen.
Penelitian lain yang dipublikasi oleh Journal of Pediatrics pernah melakukan survei pada lebih dari 1.000 orangtua yang memiliki anak-anak dengan usia di bawah usia dua tahun.
Peneliti menemukan, balita yang sering menonton video berbicara kata-kata yang lebih sedikit. Bahkan, bayi usia 8-16 bulan yang sejam lebih lama nonton video ditemukan mengucapkan rata-rata enam hingga delapan kata lebih sedikit.