Anak Kerap Saksikan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Ini Pengaruh Buruknya di Masa Depan

Siti Lestari
Ilustrasi. Anak yang kerap menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga terancam mengalami masalah buruk pada kesehatan mentalnya di masa depan. (Foto: solobersimfoni.org)
Ilustrasi. Anak yang kerap menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga terancam mengalami masalah buruk pada kesehatan mentalnya di masa depan. (Foto: solobersimfoni.org)

JAKARTA, Quarta.id– Kekerasan dalam rumah tangga menimbulkan banyak dampak buruk pada korban dan juga anggota keluarga lainnya.

Profesor dari Griffith University Australia, Patrick O’Leary mengatakan, anak-anak merupakan korban yang paling berpotensi terkena dampak secara langsung atau tidak langsung dari kekerasan tersebut.

Anak terkena dampak karena dia mendengar dan atau menyaksikan kekerasan, dipaksa menonton atau berpartisipasi dalam kekerasan.

BACA JUGA: Waspada Child Grooming, Orang Tua Harus Makin Ketat Mengawasi Aktivitas Anak di Internet

Hal itu disampaikan Patrick pada diskusi yang digelar Badan Inovasi dan Riset Nasional (BRIN), Jumat, (3/5/2024) di Jakarta.  

“Anak  dipaksa untuk memata-matai orang tua, diberi tahu bahwa mereka adalah penyebab kekerasan, dijadikan sandera, membela orang tua dari kekerasan, atau bahkan melakukan intervensi untuk menghentikan kekerasan,” ujarnya dilansir laman brin.go.id, Senin (6/5)/2024).

BACA JUGA: Ingin Anak Senang Membaca Buku, Mulailah dengan Membaca Nyaring

Lebih lanjut, dia menjelaskan terdapat dampak jangka panjang terhadap konsekuensi fisik, kognitif, psikologis, sosial, emosional, dan perilaku dari paparan kekerasan dalam rumah tangga pada masa kanak-kanak.

“Hal ini mungkin termasuk fungsi kognitif, kemampuan bahasa yang buruk, kekurangan memori ingatan, kesulitan beradaptasi terhadap perubahan dan kurangnya perhatian,” jelasnya.

Dia juga menjabarkan bahwa Australia memiliki kebijakan Perpetrator Intervention Systems, yaitu sistem yang digunakan untuk intervensi pelaku kekerasan dalam rumah tangga, keluarga, dan seksual.

BACA JUGA: Ayah di Indonesia Kurang Berperan dalam Pengasuhan Anak, UU KIA Mendesak Disahkan

Sistem ini mencakup monitoring respons polisi yaitu sanksi kriminal, sistem layanan yaitu apa yang mendorong seseorang untuk mencari bantuan, dan sistem sosial yaitu faktor apa yang dilihat sebagai insiden kekerasan atau pelecehan.

“Di Indonesia biasanya pihak korban kekerasan dalam rumah tangga disuruh meninggalkan rumahnya untuk tinggal di tempat lain sementara, agar terhindar dari tindakan pelaku. Sedangkan Australia memisahkan si pelaku ke tempat yang berbeda, sehingga korban merasa aman tinggal di rumahnya,” paparnya.

Diskusi ini diadakan Pusat Riset Kebijakan Publik (PRKP) BRIN bersama Griffith University Australia dengan tajuk “Domestic Violance and Vulnerable Groups Protection: Ethic and Developmental Research”. 

BACA JUGA: PBB: 4,9 Juta Anak di Dunia Meninggal Sebelum Ulang Tahun Kelima

Peneliti dari Griffith University Australia lainnya, Amy Young memaparkan secara ringkas terkait hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam melakukan riset terkait kekerasan dalam rumah tangga.

Hal itu bisa dimulai dari melakukan riset terhadap pelaku kekerasan dengan menggali banyak sumber data untuk memastikan informasi akurat dan berfokus pada perilaku, bukan hanya sikap.

“Selain itu juga melakukan riset terhadap korban kekerasan seperti anak-anak dan perempuan, riset terhadap pengamat, dan juga komunitas,” paparnya.

Kepala PRKP BRIN, Yanuar Farida mengatakan, kegiatan diskusi tersebut sangat bermanfaat karena dapat menambah wawasan dan ide baru yang bertujuan meningkatkan riset terkait kebijakan pada perlindungan kekerasan dalam rumah tangga serta kelompok rentan. 

Ikuti Kami :
Posted in

BERITA LAINNYA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *