JAKARTA, Quarta.id– Kasus perkawinan anak di Indonesia masih banyak terjadi. Undang-Undang Perkawinan telah menaikkan batas minimal usia pernikahan menjadi 19 tahun, namun itu belum cukup efektif mencegah pernikahan di bawah umur.
Pada Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2019 diatur usia minimal pernikahan adalah 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan, namun pasal ini juga membuka kemungkinan terjadinya penyimpangan dari ketentuan tersebut.
BACA JUGA: Tekan Angka Perkawinan Anak, Pemprov Sulsel Gandeng USAID Melalui Program ERAT
Kepala Pusat Strategi Kebijakan Mahkamah Agung (MA) Andi Akram mengatakan, di balik isi pasal tersebut terdapat makna bahwa pernikahan sebelum usia 19 tahun dapat dilakukan sepanjang mendapat izin dari pengadilan.
Akibatnya, permintaan dispensasi ke Pengadilan Agama untuk menikahkan anak sebelum usia 19 tahun meningkat.
“Dalam kehidupan masyarakat, permohonan dispensasi kawin seringkali dijadikan jalur alternatif untuk melancarkan kegiatan perkawinan di bawah umur,” ujarnya saat menjadi pembicara diskusi tentang pernikahan anak, dikutip di laman brin.go.id, Sabtu (11/5/2024).
BACA JUGA: Dua Tahun UU TPKS, Komnas Perempuan Ungkap Lima Peraturan Turunan Belum Disahkan Pemerintah
Dijelaskan, dari aspek hukum, upaya mencegah perkawinan anak dilakukan dengan mengubah ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1974 menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019.
Dalam ketentuan yang lama, batasan minimal usia perkawinan adalah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi pihak laki-laki. Sedangkan dalam ketentuan yang baru, pembatasan umur dalam perkawinan menjadi sama antara pihak pria dan wanita yakni berumur 19 tahun.
Dia menyebut faktor yang menjadi alasan diajukannya permohonan dispensasi kawin sangat beragam. Namun setidaknya terdapat tiga alasan yang cukup banyak dijadikan dalil dalam permohonan dispensasi menikah di Pengadilan Agama.
BACA JUGA: Munas Perempuan 2024 di Bali, Wadah Perjuangkan Aspirasi Kaum Difabel dan Kelompok Marginal
Pertama, alasan pergaulan bebas, kedua, menghindari zina karena antara keduanya sudah terlalu intim, dan ketiga karena alasan anak telah hamil.
“Tidak dapat dipungkiri bahwa pengajuan permohonan dispensasi kawin ke Pengadilan Agama lebih banyak yang dikabulkan ketimbang ditolak atau tidak dapat diterima,” lanjutnya.
Akram menyampaikan hal itu saat berbicara pada forum diskusi Legal Research Discussion (LRD) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Hukum (PRH) Organisasi Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (IPSH).
BACA JUGA: Anak Kerap Saksikan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Ini Pengaruh Buruknya di Masa Depan
Diskusi mengangkat tema “Dilema Kebijakan Pencegahan Perkawinan Anak dan Pertimbangan Putusan Hakim dalam Pemberian Dispensasi Kawin.” Acara ini berlangsung di Kantor BRIN Kawasan Sains Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, Selasa (8/5/2024).
Peneliti BRIN Firdaus mengatakan, pengajuan dispensasi nikah oleh orang tua anak memiliki alasan berbeda-beda.
Dia mencontohkan Tasikmalaya dan Inramayu, Jawa Barat yang menjadi lokasi risetnya tentang perkawinan anak. Di dua daerah tersebut, pernikahan anak terutama disebabkan oleh faktor ekonomi dan pendidikan.
BACA JUGA: Waspada Child Grooming, Orang Tua Harus Makin Ketat Mengawasi Aktivitas Anak di Internet
Para orang tua di Tasikmalaya disebut menikahkan anaknya karena keinginannya sendiri dan menghindari zina dan gosip. Di Indramayu, umumnya orang tua menikahkan anaknya untuk mencegah kehamilan pranikah.
Meskipun ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan mengatur bahwa usia sah perkawinan adalah 19 tahun, namun hal ini tidak dipatuhi secara tegas oleh orang tua di dua daerah tersebut.