Pasca Pemilu, Masyarakat Didorong Maksimalkan Fungsi WBS, Fasilitas Pengaduan Korupsi oleh KPK

Al-Qadri Ramadhan
Ilustrasi pengaduan masyarakat terkait tindak pidana korupsi memanfaatkan teknologi informasi. (Foto: aclc.kpk.go.id)
Ilustrasi pengaduan masyarakat terkait tindak pidana korupsi memanfaatkan teknologi informasi. (Foto: aclc.kpk.go.id)

JAKARTA, Quarta.id- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  terus mendorong masyarakat berpartisipasi dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Termasuk pasca Pemilu dimana akan menghasilkan anggota legislatif, senator dan pemimpin yang baru.

“Pemberantasan korupsi di Indonesia tidak akan pernah berhasil tanpa adanya peran serta masyarakat,” tulis newsletter Pusat Edukasi Anti Korupsi KPK yang diterima Quarta.id, Senin (26/2/2024).

Salah satu bentuk peranan yang bisa dilakukan masyarakat adalah melaporkan dugaan tindak pidana korupsi. Dengan sistem pengaduan atau whistleblowing system (WBS).

BACA JUGA: KPK Galakkan Desa Anti Korupsi, Berikut Indikatornya!

Whistleblowing system atau biasa disingkat WBS adalah mekanisme penyampaian pengaduan tindak pidana yang telah dan akan terjadi di sebuah organisasi.

WBS yang profesional dan transparan akan menyumbang pada upaya pencegahan korupsi serta membangun budaya antifraud di sebuah perusahaan atau instansi.

WBS akan menjadi alat deteksi dini atau early warning system adanya pelanggaran. Selain itu, WBS juga berfungsi mengoptimalkan penanganan di internal untuk menjaga reputasi dan mendorong perbaikan sistem.

BACA JUGA: Anak Muda Ingin Indonesia Lebih Demokratis

“Pengaduan masyarakat terbukti ampuh dalam menjerat para koruptor. Bahkan, hampir seluruh operasi tangkap tangan atau OTT oleh KPK adalah hasil dari pengaduan masyarakat,” tulis sumber tersebut.

Dasar Hukum Whistleblowing System di Indonesia

Pemerintah Indonesia telah mengatur beberapa dasar hukum untuk pengaduan tindak pidana korupsi atau pelanggaran wewenang lainnya. Di antaranya adalah Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik.

Perpres ini mengatur secara umum mengenai pengelolaan pengaduan, pemantauan dan evaluasinya.

Dasar hukum lainnya adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

BACA JUGA: Koalisi Pilih Pulih: Cara Pilih Pemimpin ala Lembaga Masyarakat Sipil

Ada pula Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dan PP No. 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Perlindungan pelapor atau whistleblower juga diatur dalam undang-undang Indonesia, yaitu pada Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006.

Dalam UU tersebut diatur mengenai kewajiban negara dalam memberikan perlindungan keamanan terhadap diri pribadi saksi, korban, atau pelapor, beserta keluarga, serta harta bendanya.

BACA JUGA: Malam Ini, KPK Uji Komitmen Pemberantasan Korupsi Tiga Capres

Perlindungan ini juga menjadi kewajiban Indonesia setelah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006.

Pasal 32 UNCAC mewajibkan negara-negara peratifikasi untuk mengambil langkah dalam melindungi para saksi, korban, atau pelapor tindak pidana korupsi.

Jenis Pengaduan Korupsi yang Ditangani KPK

KPK memiliki saluran pengaduan masyarakat terhadap dugaan tindak pidana korupsi yang mereka saksikan. Ada sejumlah syarat yang mesti dipenuhi dalam pelaporan

Syarat tersebut di antaranya adalah jelasnya identitas pelapor dan uraian mengenai fakta serta dugaan tindak pidana korupsi. Walau demikian, pelapor juga bisa menyampaikan laporannya secara anonim jika menghendaki.

Perlindungan hukum terhadap pelapor juga diatur dalam PP 43/2018, yaitu dalam bentuk kerahasiaan identitas, kerahasiaan materi laporan, serta pendapat yang disampaikan. Perlindungan secara fisik akan diberikan jika diperlukan agar pelapor merasa aman.

BACA JUGA: Solusi Prabowo Memberantas Korupsi: Naikkan Gaji Pejabat

Tindak pidana korupsi seperti apa yang bisa dilaporkan ke KPK? Kriteria ini disebutkan dalam Undang-Undang RI No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, yaitu: 

1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum atau Penyelenggara Negara; dan/atau

2. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1 miliar. KPK akan menganalisa semua laporan pengaduan masyarakat dan menindaklanjuti apakah laporan tersebut dianggap memenuhi kriteria di atas. Jika kriteria nomor 1 tidak terpenuhi, maka KPK berdasarkan UU wajib melimpahkan kasusnya kepada kepolisian atau kejaksaan. 

BACA JUGA: ICW-KontraS: Pemilu 2024 Terburuk Sejak Era Reformasi, Tangan Presiden Jokowi Berperan

Di antara bentuk laporan dugaan tindak pidana korupsi yang bagus adalah memenuhi 5W2H (who, what, when, where, why, how, dan how much) dan ada klarifikasi atas informasi tersebut.

KPK kemudian akan menindaklanjuti laporan dengan cara melakukan penindakan (pulinfo atau tangkap tangan), mencari informasi tambahan, melakukan upaya pencegahan dan meneruskannya ke unit kerja lain, berkoordinasi dengan instansi lain, dan pengarsipan.

Masyarakat bisa melaporkan dugaan tindak pidana korupsi melalui whitleblowing system KPK dengan mengakses situs http://kws.kpk.go.id/.

Pengaduan juga bisa melalui surat ke PO BOX 575, Jakarta 10120; email ke pengaduan@kpk.go.id; WhatsApp ke 0811 959 575; SMS ke 0855 8575 575′  atau dengan datang langsung ke Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav.4, Jakarta Selatan, 12950.

Ikuti Kami :
Posted in

BERITA LAINNYA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *