Beda Pandangan Yusril dan Jimly soal Presiden Boleh Kampanye-Memihak

Al-Qadri Ramadhan
Yusril Ihza Mahendra dan Jimly Ashiddiqie (Foto: istimewa)
Yusril Ihza Mahendra dan Jimly Ashiddiqie (Foto: istimewa)

JAKARTA, Quarta.id– Pernyaatan Presiden Jokowi yang menyebut presiden dan menteri boleh berkampanye dan memihak di pemilu terus menuai pro kontra.

Dua guru besar hukum tata negara, yakni Yusril Ihza Mahendra dan Jimly Asshiddiqie   memiliki pandangan masing-masing terkait pernyataan kontroversial Jokowi tersebut.

BACA JUGA: Perludem Desak Jokowi Tarik Pernyataan soal Presiden dan Menteri Boleh Berpihak

Menurut Yusril yang juga guru besar Fakultas Hukum UI, berdasarkan Undang-Undang Pemilu, presiden dan wakil presiden memang dibolehkan untuk berkampanye pemilu, baik untuk pemilu presiden (pilpres) maupun pemilu legislatif (pileg).  

Sedangkan menurut Jimly,  memang tidak ada hukum yang dilanggar jika menteri atau presiden berkampanye, namun baginya, presiden sebaiknya memang tidak perlu ikut-ikutan kampanye.

BACA JUGA: Mahfud MD Pastikan Bakal Mundur sebagai Menkopolhukam, Tunggu Momen yang Tepat

“Tidak ada hukum yang dilanggar jika menteri atau presiden yang jadi capres priode kedua seperti tahun 2019, untuk kampanye, asal cuti pada hari tertentu. Untuk yang tidak mencalonkan diri, seperti Presiden Obama di AS juga boleh kampanye untuk Hillary dan nyatanya kalah,” ujar Jimly melalui akun X (Twitter) @JimlyAs, Jumat (26/01/2024).

Namun, untuk konteks Indonesia, mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini menyarankan presiden tidak perlu cawe-cawe melakukan kampanye.

“Tapi di RI presiden memang sebaiknya tidak ikut-ikutan kampanye dan juga memang tidak perlu,” ujarnya.

BACA JUGA: Berdebat Panas, Ini Momen Mahfud MD Tolak Menjawab, Anggap Pertanyaan Gibran Receh

Adapun alasan Yusril menyebut presiden boleh berkampanye disebabkan aturan larangan bagi pejabat tidak berlaku untuk jabatan presiden, wakil presiden dan para menteri.

“Jadi, presiden dan wakil presiden boleh kampanye, baik mengampanyekan diri mereka sendiri kalau menjadi petahana, maupun mengampanyekan orang lain yang menjadi capres dan cawapres,”  ujar Ketua Umum  DPP Partai Bulan Bintang tersebut di kutip di akun X  @OfficialDPP_PBB, Jumat (26/01/2024).

BACA JUGA: Isu Sri Mulyani Mundur Dinilai Spekulatif, Pengamat: Dia Bukan Menteri dari Parpol

Dia menjelaskan, ketentuan Pasal 280 UU Pemilu merinci pejabat-pejabat negara yang tidak boleh kampanye, antara lain ketua dan para hakim agung, ketua dan para hakim Mahkamah Konstitusi, ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan dan seterusnya.

Bahkan, lanjut dia,  Pasal 299 ayat 1 UU Pemilu secara tegas menyatakan “Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak untuk melaksanakan kampanye”.

BACA JUGA: Santer Kabar Menteri Jokowi Mundur, Mahfud MD Berkicau tentang “Orang Tersandera”

Pasal 281 UU itu, kata dia,  mengatur syarat-syarat pejabat negara dan Presiden dan Wakil Presiden yang akan berkampanye antara lain harus cuti di luar tanggungan negara dan tidak boleh menggunakan fasilitas negara.

“Boleh juga kampanye untuk parpol peserta pemilu tertentu,” katanya.

BACA JUGA: Putri Gus Dur Ikut Kritik Gibran yang Dinilai Lecehkan Lawan Debat

Yusril juga membahas soal terminologi pemihakan. Menurutnya, kalau presiden dibolehkan kampanye, secara otomatis dia dibenarkan melakukan pemihakan kepada capres-cawapres tertentu, atau parpol tertentu yang dikampanyekannya.

“Masa orang kampanye tidak memihak. UU kita tidak menyatakan bahwa presiden harus netral, tidak boleh berkampanye dan tidak boleh memihak,” tegasnya.

BACA JUGA: Cawapres Adu Gagasan Bangun Desa, Siapa Unggul? Ini Penilaian Pakar IPB

Yusril menambahkan, kalau ada pihak-pihak yang menghendaki presiden harus netral tidak boleh kampanye dan memihak, maka jabatan presiden mestinya hanya satu periode agar dia tidak memihak dan berkampanye untuk jabatan kedua.

“Itu memerlukan amendemen UUD 45. Begitu pula UU Pemilu harus diubah kalau presiden dan wakil presiden tidak boleh berkampanye dan memihak,” lanjutnya.

BACA JUGA: Singgung Kode Etik, Anies: Dulu KPK Datang ke Suatu Tempat Tidak Ikut Makan

Terhadap pernyataan bahwa “tidak etis” kalau presiden kampanye dan memihak dalam pemilu, Yusril punya pandangan berbeda. 

Dijelaskan, kalau etis dimaknai sebagai norma mendasar yang menuntun perilaku manusia yang kedudukan normanya berada di atas norma hukum, hal itu merupakan persoalan filsafat.

BACA JUGA: Solusi Prabowo Memberantas Korupsi: Naikkan Gaji Pejabat

Menurutnya, Itu seharusnya dibahas ketika merumuskan undang-undang pemilu.

“Tetapi kalau ‘etis’ dimaknai sebagai ‘code of conduct’ dalam suatu profesi atau jabatan, maka normanya harus dirumuskan atas perintah undang-undang seperti kode etik advokat, kedokteran, hakim, pegawai negeri sipil dan seterusnya,” tandasnya.

Ikuti Kami :
Posted in

BERITA LAINNYA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *