DUBAI, Quarta.id– Republik Islam Iran berduka. Presiden Iran Ebrahim Raisi meninggal dunia setelah helikopter yang ditumpanginya jatuh saat terbang dalam cuaca buruk di pegunungan dekat perbatasan Azerbaijan.
Kabar kematian Ebrahim Raisi disampaikan para pejabat dan media pemerintah Iran pada Senin (20/5/2024).
Selain Raisi, kecelakaan heli tersebut turut merenggut nyawa Menteri Luar Negeri Hossein Amirabdollahian dan enam penumpang serta awak lainnya.
BACA JUGA: Iran Lancarkan Serangan Militer ke Israel, Ini Respons Netanyahu dan Presiden AS Joe Biden
Puing-puing helikopter yang hangus usai jatuh pada hari Minggu (19/5/2024) ditemukan pada Senin pagi setelah pencarian semalaman dalam kondisi badai salju.
Heli tersebut jatuh di wilayah Varzaqan di Provinsi Azarbaijan Timur, barat laut negara itu.
Helikopter Raisi, bersama dua helikopter lainnya, sedang dalam perjalanan ke Kota Tabriz pada hari Minggu setelah ia meresmikan Bendungan Qiz Qalasi di perbatasan dengan Republik Azerbaijan pada hari sebelumnya.
BACA JUGA: Israel Lancarkan Serangan Balasan ke Iran, Terjadi Ledakan di Kota Isfahan
Menurut Reuters mengutip kantor berita Iran, IRNA, Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mengatakan Wakil Presiden Pertama Mohammad Mokhber akan mengambil alih jabatan presiden sementara.
“Saya mengumumkan lima hari berkabung di depan umum dan menyampaikan belasungkawa kepada rakyat Iran,” kata Khamenei dalam sebuah pernyataan.
BACA JUGA: Meski Sekutu Abadi Israel, AS Tolak Ikut Balas Serangan Iran
Raisi yang berusia 63 tahun memenangi pemilu Iran pada 2021 setelah rival kelas berat konservatif dan moderat didiskualifikasi oleh badan pengawas garis keras, membuat semua cabang kekuasaan berada di bawah kendali kelompok yang setia kepada Pemimpin Tertinggi Ali Khamenei.
Khameini yang berusia 85 tahun merupakan mentor Raisi yang memiliki kekuasaan dan berwenang keputusan akhir pada semua kebijakan utama.
BACA JUGA: Indonesia Antisipasi Gejolak Ekonomi Dampak Serangan Iran ke Israel
Raisi mengambil sikap keras dalam negosiasi dengan enam negara besar untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir pada 2015, dan melihat peluang untuk mendapatkan keringanan luas dari sanksi AS sebagai imbalan atas pembatasan sederhana terhadap program nuklir Iran yang semakin maju.
Pada 2018, AS saat itu. Presiden Donald Trump telah mengingkari kesepakatan yang telah dilakukan Teheran dengan enam negara besar dan menerapkan kembali sanksi keras AS terhadap Iran yang mendorong Teheran semakin melanggar batas-batas nuklir perjanjian tersebut.