Dapat Suara hingga Jutaan, Komeng Mampu Warnai Parlemen Senayan?

Al-Qadri Ramadhan
Foto unik Komeng di surat suara Pemilu DPD dan perolehan suaranya di situs KPU. (Foto: Istimewa/pemilu2024.kpu.go.id)
Foto unik Komeng di surat suara Pemilu DPD dan perolehan suaranya di situs KPU. (Foto: Istimewa/pemilu2024.kpu.go.id)

KOMENG hampir dipastikan bakal terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) periode 2024-2029 dari daerah pemilihan Jawa Barat.

Berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara di laman pemilu2024.kpu.go.id, hingga Minggu (18/2/2024) pukul 12.15 WIB, komedian tersebut mengantongi suara terbanyak, yakni 1.556.736 (12,4%).

Persentase suara yang masuk ke sistem elektronik KPU sudah mencapai 140.457 TPS atau 52,3%.

Perolehan suara Komeng jauh mengungguli 53 nama calon anggota DPD lain, termasuk peringkat kedua Aanya Rina Casmayanti yang meraih suara 686.160 (5,46%).

BACA JUGA: Hasil Quick Count: PSI Kembali Gagal Masuk DPR Senayan, Perolehan Suara Hanya Lebih 2%

Komeng membuat geger publik sejak hari pencoblosan 14 Februari lalu. Penyebabnya, pemilih menemukan foto Komeng dengan ekspresi nyeleneh pada surat suara.

Di saat calon lain memasang foto dengan senyum tegas, mantan personel grup komedi Diamor itu justru memasang ekspresi mata melotot dengan kepala yang dimiringkan.

Menariknya, Komeng mencalonkan diri di pemilu lalu tanpa memasang baliho atau berkampanye.

BACA JUGA: Hasil Quick Count: PDIP Hattrick, Tiga Kali Beruntun Jadi Pemenang Pileg

Modal Komeng adalah popularitas. Dia telah lama dikenal sebagai komedian papan atas. Celetukan spontan pria kelahiran 25 Agustus 1970 ini selalu mengundang tawa.

Puluhan tahun wara wiri di layar TV membuat komedian yang terlahir dengan nama Alfiansyah Bustami ini dikenal masyarakat lintas usia.

Namun, modal tenar bukan satu-satunya bekal Komeng masuk parlemen Senayan. Komeng menyandang gelar sarjana ilmu ekonomi melalui studi yang dirampungkannya pada 2018.

Ironi Lembaga DPD

Perolehan suara Komeng yang meledak di pemilu DPD kembali menegaskan bahwa figur populer lebih mudah dalam menarik simpati pemilih.

BACA JUGA: PKS Tembus 5 Besar, PPP Terancam Keluar dari DPR RI Versi Hasil Quick Count

Selain Komeng, artis Jihan Fahira juga mendapat suara cukup tinggi untuk calon DPD di Jawa Barat, yakni di urutan ketiga menurut hasil sementara rekapitulasi penghitungan suara.

Namun, fenomena ledakan suara Komeng tersebut juga menyimpan ironi terkait lembaga DPD.

Dari pemilu ke pemilu sejak era Reformasi, masyarakat selalu memilih calon anggota DPD. Namun, keberadaan para anggota DPD ini nyaris tidak dirasakan.

Ini tidak lepas dari keberadaan lembaga DPD yang dalam sistem politik seolah hanya anak tiri. DPD tidak punya kewenangan sebagaimana lembaga DPR.

BACA JUGA: Hasto Klaim Kecurangan Pemilu Masif, Usulkan TPN Ganjar-Mahfud Bentuk Tim Khusus

Mengacu pada ketentuan Pasal 22D UUD 1945 dan Tata Tertib DPD dinyatakan DPD mempunyai fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran.

Tugas dan wewenang DPD antara lain berhak mengusulkan dan ikut membahas rancangan undang-undang (RUU) yang berkaitan dengan otonomi daerah.

DPD juga berwenang memberi pertimbangan atas RUU RAPBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.

BACA JUGA: IPB Ikut Kritik Jokowi: Pemimpin Nasional Harus Junjung Etika dan Moral

Namun, sejatinya DPD hanya berwenang mengusulkan serta melakukan pembahasan RUU. Tidak ada kewenangan untuk menolak atau menyetujui sebagaimana DPR.

Ini yang menjadi sumber kelemahan lembaga perwakilan tersebut.

Pegiat hukum tata negara Agus Maulidi mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) sebenarnya sudah membuat putusan yang intinya memerintahkan agar DPD diposisikan sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945.

BACA JUGA: Jokowi Diadang Gerakan Kampus, Misi Pilpres Satu Putaran Pupus?

Melalui Putusan Nomor 92/PUU-X/2012, MK menyatakan, seluruh ketentuan di dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang telah mengurangi fungsi, tugas, dan kewenangan DPD adalah inkonstitusional.

Hanya, kenyataannya, setelah putusan MK ditetapkan, kedudukan DPD masih begitu-begitu saja.

Dalam banyak hal, kata Agus, DPD belum diberikan porsi yang signifikan sesuai dengan amanat Putusan MK.

BACA JUGA: Jokowi Disebut Akan Pacu Semua Potensi untuk Menangkan Prabowo-Gibran Satu Putaran

“Bahkan beberapa undang-undang yang berkaitan dengan lingkup fungsi dan peran DPD, dalam proses legislasinya, DPD tidak dilibatkan,” ujar alumnus Fakulutas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) kepada Quarta.id, Sabtu (17/2/2024).

Untuk memperkuat kewenangan DPD, Agus menilai itu bisa dilakukan melalui amendemen UUD 1945.

“Amendemen kelima UUD 1945 yang telah cukup lama digaungkan oleh MPR, bisa menjadi momentum untuk memperkuat DPD dalam struktur ketatanegaraan kita,” tandasnya.

Momentum Perbaikan DPD

Sosiolog UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tantan Hermansah menyebut ledakan perolehan suara Komeng di pemilu DPD jadi bukti gagalnya lembaga perwakilan tersebut menjalankan perannya.

BACA JUGA: Kurang 24 Jam, Film soal Kecurangan Pemilu Dirty Vote Sudah Ditonton 2 Juta Kali

Dia menyebut fenomena Komeng yang viral sejak hari pencoblosan 14 Februari lalu menunjukkan dua hal penting.

Pertama, perolehan suara Komeng dan juga Jihan Fahira menunjukkan bahwa pemilih tidak cukup mengenal figur dan prestasi anggota DPD yang saat ini eksis menjabat.

BACA JUGA: Media Asing Ini Ikut Soroti Film Dokumenter Dirty Vote

Orang akhirnya memilih bukan karena kualifikasi atau kualitas calon melainkan karena popularitasnya.

Tantan menyebut masih banyak pemilih yang tidak kenal apa itu DPD, termasuk kepanjangannya, alih-alih mengenal calon yang akan dipilih di surat suara.  

“Fenomena Komeng jadi bukti bahwa DPD sudah gagal dalam memopulerkan dirinya sebagai subjek wakil rakyat,” ujarnya kepada Quarta.id, Sabtu (17/2/2024).

Tantan menyebut fenomena Komeng ini perlu dimanfaatkan sebagai momentum untuk membenahi DPD yang setiap tahunnya menggunakan anggaran negara hingga Rp1 triliun namun minim kontribusi.

BACA JUGA: Pakar Unpad: Film Dirty Vote Gambarkan Kegalauan Publik, Bisa Beri Pengaruh Besar ke Pemilih

Kedua, isu Komeng secara sosiologis juga bisa dibaca sebagai fenomena menguatnya budaya populer. Menurut Tantan, publik saat ini butuh bahasa yang lebih ringan, bukan yang berat dan memusingkan.

Selama ini, para politisi dan ahli tata negara dianggap tidak cukup mampu membumikan pikiran mereka tentang persoalan kenegaraan.

BACA JUGA: Pengamat: Kecurangan Akan Membuat Legitimasi Pemilu Rendah dan Rawan Picu Kemarahan Publik

Dalam sutuasi jenuh seperti itu, bahasa komedi pun dianggap bisa untuk menyuarakan permasalahan kebangsaan.

“Negara dianggap terlalu jauh dari bahasa rakyat. Daripada mendengar bahasa yang tidak mereka mengerti, ya minimal dari Komeng mereka bisa menikmati komedi,” paparnya.

BACA JUGA: Gelar Pidato Kemenangan, Prabowo: Kami Akan Rangkul Semua Unsur dan Kekuatan

Lantas, akankah Komeng hanya akan jadi penghibur di lembaga DPD atau justru mampu memberi warna baru pada kelompok senator di Senayan?

Tantan menyebut Komeng punya latar pendidikan tinggi, pengalaman organisasi, dan pernah menjalani pelatihan kader.

“Komeng bukan orang hampa, dia pasti punya kapasitas lain. Semoga saja DPD bisa makin dikenal dengan adanya Komeng,” tandasnya.

Ikuti Kami :
Posted in

BERITA LAINNYA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *