Subak: Kearifan Lokal yang Jadi Topik Pembicaraan pada World Water Forum

Arif Kunu
Menparekraf Sandiaga Salahuddin Uno saat melakukan kunjungan ke areal persawahan di Desa Jatiluwih, Tabanan, Bali, Jumat (3/5/2024) sebagai rangkaian persiapan World Water Forum (WWF) 2024. (Foto: kemenparekraf.go.id)
Menparekraf Sandiaga Salahuddin Uno saat melakukan kunjungan ke areal persawahan di Desa Jatiluwih, Tabanan, Bali, Jumat (3/5/2024) sebagai rangkaian persiapan World Water Forum (WWF) 2024. (Foto: kemenparekraf.go.id)

BALI, Quarta.id- Keberadaan Subak sebagai sistem pengairan masyarakat lokal Bali, diangkat sebagai tema khusus pada pagelaran World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali.

United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) bersama Pemerintah Indonesia berkomitmen merawat dan mempertahankan kelestarian sistem pengairan pertanian Bali itu sebagai bagian dari warisan budaya dunia.

Demikian dikatakan Deputy Director General of UNESCO, Xing Qu saat menyampaikan sambutan dalam diskusi bertajuk “Subak and Spice Routes: Local Wisdom Water Management” pada gelaran World Water Forum (WWF) ke-10, di BICC, Nusa Dua, Selasa (21/5/2024) lalu.

BACA JUGA: Bali Tuan Rumah Forum Air Sedunia 2024, Hadirkan Ribuan Peserta dari Berbagai Negara

Laman kemenparekraf.go.id menyebut, Sistem irigasi Subak telah ada sejak ribuan tahun silam dan bertahan sampai kini karena dijaga secara turun temurun.

Pada 29 Juni 2012 UNESCO pun menetapkan bahwa Subak sebagai warisan budaya dunia, dan hingga saat ini tetap konsisten berkomitmen mempertahankannya.

Subak yang dikelola masyarakat adat Bali melalui mekanisme irigasi berlandaskan filosofi Tri Hita Karana (keseimbangan dan keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan) dinilai mampu menjadi contoh harmonisasi hubungan antara air dengan manusia.

BACA JUGA: World Water Day, Perubahan Iklim dan Ancaman Krisis Air

“Salah satu upayanya, termasuk melakukan advokasi perlindungan warisan budaya terkait dengan air demi mengatasi tantangan permasalahan air di abad ke-21, semuanya sangat terkait erat dalam konteks Subak,” kata Xing Qu.

Xing Qu juga memaparkan sejumlah inisiatif dan program yang dilakukan UNESCO dalam meningkatkan promosi dan edukasi terkait dengan bagaimana memanfaatkan air secara bijak.

Sejumlah inisiatif itu diantaranya dukungan pendidikan terkait dengan pengelolaan air, peningkatan kapasitas, dan memfasilitasi kerja sama air lintas batas. Upaya ini selaras dengan semangat yang digaungkan dalam World Water Forum ke-10 di Bali.

BACA JUGA: Hari Air Sedunia, Peneliti UGM Ungkap Bahaya Logam Berat yang Cemari Sungai di Yogyakarta

“Kita harus merefleksikan kembali bagaimana hubungan kita dengan air, bagaimana selama ini kita telah mengkonsumsi dan mengolah air. Kami juga akan merilis inisiatif-inisiatif baru di Indonesia untuk mendukung pengelolaan air yang lebih berkelanjutan,” ungkap Xing Qu.

Xing Qu pun menyampaikan kekagumannya terkait dengan kehidupan masyarakat Bali yang selalu berhubungan erat dengan air. Sejak lahir hingga meninggal, berbagai upacara dan ritual yang dilakukan umat Hindu di Bali itu selalu melekat dengan air.

BACA JUGA: Diusulkan Indonesia pada World Water Forum, Apa itu Zero Delta Q?

Filosofi air bagi masyarakat Bali juga ditegaskan oleh Sekretaris DPP Peradah Indonesia Bali, I Ketut Eriadi Ariana, yang bergelar Jero Penyarikan Duuran Batur, saat menjadi pembicara. Dia mengatakan, masyarakat Bali menganggap air sebagai representasi manusia secara menyeluruh, baik di dalam maupun di luar.

“Ketika mata air hilang, pikiran orang Bali pun hilang. Ada teks kuno Bali yang membicarakan soal pengelolaan air dan berbagai aturan cara menjaga dan merawat air. Subak tidak hanya sekadar terasering, tapi merupakan bentuk solidaritas,” katanya dalam diskusi tersebut.

BACA JUGA: Hadapi Perubahan Iklim, BRIN Dorong Penguatan TTG Bidang Pertanian

Dalam mengatasi berbagai tantangan isu air, butuh kolaborasi bersama, termasuk pemberdayaan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan petani, serta melakukan edukasi secara berkelanjutan. “Saya tekankan bahwa tata kelola air dunia, harus didasari oleh nilai solidaritas dan konektivitas sehingga bisa keluar dari malapetaka air,” katanya.

Selama penyelenggaraan World Water Forum ke-10, peserta dan pengunjung juga bisa menyaksikan pameran jejak rempah bertajuk “Telu, Spice Market, Balinese Culture Art” dan “Subak Cultural Landscpe” di Museum Pasifika, Nusa Dua, Bali, mulai 21-25 Mei 2024.

Ikuti Kami :
Posted in

BERITA LAINNYA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *