JAKARTA, Quarta.id- Aktivis Lingkungan Indonesia, Rahyang Nusantara yang juga Deputi Direktur Dietplastik Indonesia, PR3 dari Global Alliance to Advance Reuse, dan Fellow PIPA Ocean 2024, hadir pada Konferensi Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-3 (UNOC3).
Dikutip dari siaran pers yang diterima Quarta.id, Rabu (18/6/2025), acara yang berlangsung di Nice, Prancis, dihadiri para para pemimpin dunia, pembuat kebijakan, ilmuwan, dan advokat muda dari berbagai negara.
Mewakili masyarakat sipil Indonesia dan Asia Reuse Consortium, Rahyang menyampaikan seruan kuat untuk aksi hulu dalam mengatasi polusi plastik laut, serta memaparkan solusi berbasis komunitas dari Indonesia kepada audiens internasional.
BACA JUGA: Dari Pawai Bebas Plastik 2023: Pemerintah Diminta Serius Tangani Polusi Sampah Plastik
Dalam berbagai sesi resmi dan acara sampingan, termasuk diskusi panel yang diselenggarakan oleh UN Environment Programme, World Economic Forum, Scientists’ Coalition, dan PIPA Ocean, Rahyang menekankan pentingnya sistem guna ulang sebagai solusi strategis dan berkeadilan untuk mencegah pencemaran plastik di laut.
Berbekal pengalaman lebih dari satu dekade dalam kampanye lingkungan berbasis komunitas dan reformasi kebijakan tingkat kota, Rahyang mendesak para negosiator untuk memprioritaskan langkah-langkah ambisius menjelang putaran akhir perundingan Global Plastic Treaty (INC-5.2) yang akan berlangsung Agustus mendatang di Jenewa.
“Untuk menghentikan plastik mencapai laut, kita harus menghentikan sifat sekali pakai sejak awal. Mengintegrasikan sistem guna ulang dalam skema Tanggung Jawab Produsen yang Diperluas (Extended Producer Responsibility), dengan dukungan standar global seperti yang dikembangkan oleh PR3, adalah cara untuk beralih dari penanganan limbah ke pencegahan nyata,” ujar Rahyang.
Pernyataan Rahyang disampaikan dalam acara Searious Business Side Event di Hyatt Regency Nice Palais de la Méditerranée, Nice, Prancis, pada Rabu (12/6/2025).
Menurut Rahyang, guna ulang bukan sekadar konsep tetapi solusi nyata yang digerakkan oleh komunitas dan telah terbukti melindungi laut kita.
BACA JUGA: DAS Citarum Rawan Polusi Limbah Farmasi, Ini Bahayanya untuk Manusia dan Lingkungan
“Namun tanpa kerangka kerja global seperti Global Plastic Treaty yang mengakui dan mendanai upaya ini, kita berisiko mengabaikan dampak yang sesungguhnya. Saatnya memperluas upaya yang telah berhasil dari akar rumput,” ucapnya dalam acara sampingan di La Baleine, Palais des Expositions.
Forum dimaksud berlangsung di Nice, Kamis (13/6/2025) bersama tujuh Fellow PIPA Ocean dari Amerika Latin, Asia Tenggara, Asia Tengah, dan Pasifik.
“Untuk mengatasi krisis plastik, kita harus bisa melakukan upaya lebih dari sekedar daur ulang dan pelarangan—sistem guna ulang adalah kunci untuk mengurangi sampah dari sumbernya. Dengan menggantikan produk sekali pakai, guna ulang tidak hanya mendorong sirkularitas tetapi juga mencegah kebocoran plastik ke lautan,” tambah Rahyang.
BACA JUGA: Peneliti dan Aktivis Lingkungan Ingatkan Potensi Bahaya Mikroplastik pada Jajanan Anak
Dalam rangkaian acara sampingan UNOC3, Rahyang turut berbagi kemajuan Indonesia dalam mengembangkan solusi guna ulang, termasuk reformasi kebijakan dan percontohan bisnis guna ulang di Jakarta.
Ia juga menekankan pentingnya peran pekerja informal sektor persampahan, keterlibatan generasi muda, serta perumusan kebijakan berbasis sains sebagai pilar utama implementasi traktat atau perjanjian global yang adil dan inklusif.
“Indonesia telah membuktikan bahwa pelarangan plastik sekali pakai di tingkat kota, transformasi bisnis, dan partisipasi warga dapat mengubah sistem. Global Plastic Treaty harus mampu memperluas upaya-upaya ini secara global. Tanpa regulasi hulu dan pendanaan yang memadai, kita berisiko mengunci polusi selama beberapa dekade ke depan,” tegas Rahyang.
BACA JUGA: Lakukan Penelitian di Kepulauan Selayar, Akademisi Ini Ingatkan Bahaya Mikroplastik
Meski demikian, Rahyang menyayangkan atas belum bergabungnya Indonesia dalam daftar negara pendukung deklarasi tingkat tinggi “Nice Wake-Up Call,” yang telah didukung oleh lebih dari 95 negara.
“Nice Wake-Up Call,” mendorong ketentuan traktat yang kuat seperti pembatasan produksi plastik perawan, kewajiban desain ulang produk untuk bisa digunakan ulang dan tahan lama, serta pembentukan sistem EPR global dengan skema biaya yang dimodulasi berdasarkan dampak lingkungan.
“Indonesia telah menunjukkan kemajuan nyata di tingkat lokal, tetapi tanpa kemauan politik di tingkat nasional untuk selaras dengan inisiatif global yang ambisius seperti Nice Wake-Up Call. Hal ini berisiko mengirimkan pesan yang membingungkan mengenai sikap yang diambil sebagai negara. Kepemimpinan regional kita harus disertai dengan tanggung jawab global,” ujar Rahyang.
Menjelang perundingan di Jenewa, Rahyang dan Dietplastik Indonesia menyerukan kepada pemerintah nasional—terutama di kawasan Asia Tenggara—untuk meningkatkan komitmen mereka dan berdiri bersama negara-negara yang menuntut hasil traktat yang ambisius dan dapat ditegakkan.