FENOMENA golput di pilkada menunjukkan tren meningkat. Di Jakarta, hampir separuh warga ibu kota tidak mencoblos pada pemilihan 27 November lalu.
Alasan pemilih menjadi golput beragam. Umumnya karena alasan tidak menyukai calon yang ada. Sebagian lainnya karena menganggap suara yang diberikan tidak memberi pengaruh signifikan pada kehidupan mereka.
BACA JUGA: Deretan Artis Papan Atas Kalah di Pilkada 2024, Ada Kris Dayanti dan Vicky Shu
Angka golput di Pilkada 2024 naik tajam dibandingkan Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif (Pilpres dan Pileg) 2024. Komisi Pemilihan Umum (KPU) memperkirakan partisipasi pemilih di pilkada lalu di bawah 70% atau angka golput mencapai lebih 30%.
Partisipasi pemilih di Pilpres/Pileg 2024 jauh lebih baik, yakni mencapai 81%.
Dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) Pilkada 2024 sebanyak 203,6 juta, artinya lebih 60 juta warga Indonesia memutuskan menjadi golput. Mereka tersebar di 27 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota yang menggelar pilkada serentak.
BACA JUGA: Quick Count: Pramono Anung-Rano Karno Unggul di Jakarta, Berpeluang Menang 1 Putaran
Berdasarkan hasil quick count Litbang Kompas, untuk pilkada di Pulau Jawa Jakarta teratas dengan pemilih golput. yakni 42,07%. Jawa Barat di urutan kedua (33,66%), Jawa Timur (30,1%), dan Jawa Tengah (26,44%).
Anggota KPU August Melasz mengakui partisipasi pemilih di Pilkada 2024 di bawah 70%. KPU berjanji akan melakukan evaluasi untuk mengetahui penyebab rendahnya keinginan warga datang ke TPS.
“Soal partisipasi pemilih, memang kalau kita lihat sekilas dari gambaran secara umum kurang lebih di bawah 70% secara nasional rata-rata. Meskipun rata-rata nasional biasanya kalau dalam konteks pilkada dibanding pilpres-pileg, atau pemilu nasional ada di bawah,” ujarnya saat konferensi pers bersama komisioner KPU di Jakarta yang disiarkan di kanal YouTube, KPU, Jumat (29/11/2024).
BACA JUGA: Partai Banteng Tumbang di Kandang, Hasil Quick Count Ahmad Luthfi Ungguli Andhika Perkasa di Jateng
KPU belum memastikan faktor penyebab banyak pemilih yang memilih golput. Analisis sementara, hal itu bisa disebabkan berkurangnya jumlah tempat pemungutan suara (TPS) di bandingkan Pilpres/Pileg 2024.
Saat pilpres/pileg jumlah TPS lebih dari 800.000 dan setiap TPS melayani 300 pemilih. Di pilkada lalu, jumlah TPS berkurang setengah sehingga jumlah pemilih di tiap TPS juga bertambah dua kali lipat.
Pengurangan jumlah TPS berakibat pada jarak antartiap TPS berjauhan. Hal ini bisa memicu orang malas untuk datang menggunakan hak pilihnya.
“Apakah misalnya alasan lokasi TPS segala macam, itu mungkin akan jadi bagian dari evaluasi. Secara prinsip kalau di pemilu nasional lalu kan 800.000 TPS dengan jumlah maksimal pemilih 300 orang. Nah, kalau di pilkada kan memang ada pemampatan setengah dari jumlah yang ada,” tambahnya.
BACA JUGA: Artis Menang Pilkada Versi Quick Count: Rano Karno, Lucky Hakim, Jeje Govinda, Siapa Lagi?
Faktor lain yang bisa membuat partisipasi pemilih menurun adalah sosialisasi pilkada yang kurang. Namun, August menilai sosialisasi sebagaimana pilpres/pileg juga diterapkan di pilkada ini.
“Apakah ada proses sosialisasi yang dianggap kurang atau tidak, saya pastikan skema terkait penyebaran informasi, sosialisasi, sebagaimana praktik di pemilu nasional lalu, itu juga diterapkan sama,” lanjutnya.
Lelah dengan Politik
Pengamat politik yang juga dosen Fisip Unikom Bandung, Wim Tohari Daniealdi menyebut tingginya angka golput di pilkada disebabkan beberapa hal. Pertama, masyarakat terlalu lelah dengan proses politik.
Masyarakat disebutnya mengalami fenomena kelelahan demokrasi (democratic fatigue). Fenomena ini diakui juga terjadi di banyak negara pascaruntuhnya komunis, terutama negara Eropa Timur.
BACA JUGA: Jelang Pilkada Serentak, 264 ASN Dijatuhi Sanksi karena Langgar Netralitas
Dalam konteks Indonesia, ada beberapa penyebab munculnya kelelahan demokrasi tersebut. Di antaranya, masyarakat kecewa pada hasil dari pilihannya saat pemilu atau pilkada. Apa yang dihasilkan dianggap tidak punya dampak signifikan bagi kehidupan rakyat.
“Ketika produk dari mekanisme demokrasi tidak bisa menjawab kebutuhan masyarakat, maka mereka akan abai. Masyarakat akan sulit diajak memilih jika hasil pilkada dinilai jauh dari ekspektasi,” ujar peneliti di Pemilu Watch Indonesia ini, Minggu (1/12/2024).
BACA JUGA: 3 Juta KPPS dan Petugas Adhoc Pilkada 2024 Wajib Didaftar BPJS Ketenagakerjaan
Ketidakpuasan masyarakat antara lain dipicu oleh politik yang menonjolkan perebutan kekuasaan. Bahkan, orang tidak segan berebut kuasa dengan berbagai cara, termasuk menggunakan politik uang. Politik transaksional seperti itu dianggap merusak prinsip demokrasi yang mengedepankan kebebasan memilih secara rasional.
Ketidakpuasan juga dipicu oleh banyaknya kepala daerah yang dihasilkan pilkada terjerat kasus korupsi. Sudah ratusan kepala daerah hasil pilkada ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima suap.
Kelelahan demokrasi juga dipicu oleh event politik yang terlalu rapat. Pilkada Serentak 2024 hanya berjarak delapan bulan dengan pilpres/pileg.
BACA JUGA: Tiga Lembaga Diperintahkan Perkuat Sinergi Hadapi Kerawanan Pilkada Serentak 2024
“Banyak orang yang jadi malas untuk datang ke TPS karena menganggap pemilihan terlalu sering, bikin capek,” katanya.
Intervensi Pengurus Pusat
Kedua, angka golput juga dipicu pragmatisme parpol dalam mengejar kemenangan. Wim menyebut elite parpol di pusat kerap mengintervensi kader di daerah agar mendukung calon kepala daerah tertentu.
Padahal, di saat yang sama ada kader sendiri yang potensial dan selama belasan bahkan puluhan tahun bekerja untuk partai, namun justru tidak dicalonkan di pilkada.
Pengurus parpol di pusat bahkan tidak jarang mengarahkan kader untuk masuk pada satu koalisi besar demi meraih kemenangan. Akibatnya, calon tertentu bisa memborong dukungan partai sehingga otomatis menutup peluang figur lain untuk mencalonkan diri.
“Untung saja Mahkamah Konstitusi menurunkan syarat bagi parpol untuk mencalonkan di pilkada. Jika tetap 20% kursi di DPRD, bisa dibayangkan berapa banyak kotak kosong di pilkada lalu,” ujarnya.
Wim menilai, perilaku elite parpol di pusat yang suka mendiktekan kepentingan politiknya ke daerah adalah praktik politik yang buruk.
BACA JUGA: Antisipasi Gangguan di TPS Saat Pencoblosan Pilkada, Ini 6 Indikator Kerawanan Menurut Bawaslu
“Menurut saya, apa yang dilakukan pengurus parpol di pusat itu bahkan lebih buruk dibanding praktik dinasti politik,” ujarnya.
Dia meminta elite parpol introspeksi diri. Parpol idealnya menjadi sumber daya politik bukan hanya dikuasai oleh elitenya, terkesan jadi kepemilikan, atau dikelola seperti perusahaan.
“Partai sekarang bikin jengah, hanya beberapa partai saja yang tetap pada nature-nya, punya desain pencalonan yang baik,” lanjutnya.
BACA JUGA: Anies Beri Sinyal Segera Dirikan Partai Politik
Perilaku sewenang-wenang elite parpol di pusat itu tidak hanya melelahkan masyarakat. Pengurus dan kader parpol di daerah pun juga dibuat lelah.
Dalam kondisi seperti itu, banyak kader parpol yang tidak lagi bekerja maksimal dalam memenangkan pasangan calon kepala daerah pilihan pengurus pusat.
“Ada kader yang elektabilitasnya tinggi tapi tidak dicalonkan. Ini menyakitkan bagi kader. Akibatnya apa? Mesin partai akhirnya tidak jalan, padahal mesin partai inilah penentu elektabilitas, mereka yang menggiring masyarakat untuk memilih calon yang diusung partai,” tandasnya.