JAKARTA, Quarta.id– Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati menyebut terdapat kesenjangan yang cukup lebar antar negara dalam mewujudkan cita-cita laut yang aman untuk seluruh dunia.
Menurutnya, Kesenjangan tersebut terbagi dalam dua yaitu teknis dan non teknis, namun saling berhubungan dan berkaitan erat.
Hal tersebut disampaikan Dwikorita saat menjadi Pembicara Kunci pada Sesi 3 Plenary, Safe and Predicted Ocean dalam UN Ocean Decade Conference di Barcelona, Spanyol, Kamis (11/2024) dikutip dari siaran pers BMKG yang dipublikasi pada Selasa (16/4/2024) pada laman bmkg.go.id.
BACA JUGA: World Water Day, Perubahan Iklim dan Ancaman Krisis Air
Dalam kesempatan tersebut Dwikorita memaparkan presentasinya di depan perwakilan negara-negara dunia berjudul Gaps and Strategies For Safe and Predicted OCEAN.
Dwikorita menerangkan, kesenjangan yang dia maksud yaitu pertama dalam hal kerangka hukum dan mekanisme kelembagaan, di mana banyak negara yang gagal menerapkan pertukaran data antar lembaga ataupun antar negara, serta tidak adanya kerangka hukum untuk Multi-Hazard Early Warning Systems (MHEWS).
BACA JUGA: Hadapi Climate Change, Petani Didorong Miliki Literasi Iklim
Kesenjangan kedua, yaitu terkait prasarana pengamatan dan sistem pemantauan yang mana jaringan observasi yang dimiliki masih manual, serta terbatasnya anggaran untuk otomatisasi pemantauan dan transmisi data.
kesenjangan ketiga yaitu terkait prakiraan dan prediksi numerik yang belum dapat dilakukan karena keterbatasan kapasitas SDM dan ketersediaan sarana prasarananya.
Keempat, dalam hal peramalan berbasis dampak dimana banyak negara dalam prakiraan dan peringatan yang dikeluarkan tidak memiliki informasi mengenai potensi bahaya dan kerentanan wilayahnya.
BACA JUGA: Perubahan Iklim Bisa Membuat Kopi Tak Lagi Senikmat Dulu
Kemudian, kelima dalam hal pengamatan data yakni kurangnya data observasi khususnya di lautan. Dan terakhir, keenam yakni terkait layanan peringatan dan multi-hazard early warning systems dimana banyak negara yang tidak memiliki kapasitas yang mumpuni untuk memperkirakan bahaya kumulatif dan dampaknya yang berjenjang.
“Kesenjangan ini harus kita persempit. Ini pekerjaan rumah seluruh negara-negara di dunia,” ungkapnya.
BACA JUGA: Korban Tewas Tertimbun 14 Orang, Penanganan Longsor Toraja Terkendala Alat Berat
Lebih lanjut Dwikorita mengatakan bahwa terdapat sejumlah strategi yang dapat dilakukan untuk mempersempit jurang kesenjangan tersebut. Di antaranya yaitu dengan membangun aliansi jaringan dengan berbagai pihak mulai dari akademisi, lembaga penelitian, antar pemerintah, maupun kemitraan pemerintah dan swasta.
Strategi selanjutnya yaitu dengan memperkuat konteks lokal bagi komunitas di daerah terpencil, serta perlibatan sektor swasta untuk mempercepat tercapainya early warning system for all (EW4ALL) secara cepat, tepat, akurat, mudah dipahami dan diresponse, serta luas jangkauannya.
BACA JUGA: Cuaca Terik Sebabkan Gangguan Mental? Ini Penjelasannya
Selanjutnya, dalam kesempatan tersebut, Dwikorita juga menawarkan beberapa solusi untuk mengatasi kesenjangan dalam aspek teknis dan non teknis.
Pada aspek teknis, Dwikorita menyodorkan solusi dengan target memberikan peringatan yang tepat waktu, dapat diandalkan, akurat, dapat dipahami, dan dapat ditindaklanjuti.
BACA JUGA: Ini Prediksi Cuaca BMKG Pada Puncak Arus Mudik dan Arus Balik Lebaran Idulfitri 2024
Hal tersebut dapat diwujudkan dengan pengamatan yang sistematis dan berkesinambungan, memperkuat sistem berbasis komunitas lokal yang ada serta sistem terintegrasi (berbasis kolaboratif) dan pertukaran data.
“Sedangkan untuk kesenjangan non teknis, solusinya dengan target untuk memastikan response dini dapat dilakukan oleh masyarakat. Hal ini dapat dicapai dengan komunikasi risiko melalui pendidikan komunitas, meningkatkan literasi kebencanaan masyarakat, dialog, kemitraan pemerintah-swasta, dan sebagainya,” pungkas Dwikorita.