JAKARTA, Quarta.id– Hari Lahan Basah Sedunia atau World Wetlands Day diperingati pada 2 Februari setiap tahunnya.
Peringatan ini diadopsi dari perjanjian internasional tentang perlindungan dan pelestarian lahan basah di seluruh dunia, atau lebih dikenal dengan Konvensi Ramsar.
BACA JUGA: Yuk, Kenali Forest Restoration Project: Aksi Tanam Pohon Spesies Langka di Hutan Sumatra
Peringatan ini bertujuan untuk membangun kesadaran dan memberikan edukasi kepada masyarakat serta mendorong upaya pelestarian dan pemanfaatan ekosistem lahan basah secara bijaksana.
Tema global Hari Lahan Basah Sedunia tahun ini adalah “Wetlands and Human Wellbeing”. Tema ini menyoroti dan mengajak semua pihak untuk sadar akan pentingnya perlindungan dan pengelolaan ekosistem lahan basah secara lestari dan berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
BACA JUGA: Forum Bali Ocean Days, Bahas Ekonomi Biru dan Isu Pembangunan Berkelanjutan
Satu di antara contoh lahan basah adalah gambut. Contoh lainnya yakni bakau, rawa-rawa, sungai, danau, delta, daerah dataran banjir, sawah dan terumbu karang serta lahan gambut.
Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dolly Priatna mengatakan, keberadaan lahan gambut sangat penting bagi upaya global untuk memerangi perubahan iklim, menurunkan suhu lingkungan di daerah sekitar, memberikan solusi berbasis alam termasuk mengatur sistem hidrologi tanah, memasok makanan, serat dan produk lokal lainnya yang menopang perekonomian.
“Juga memberi perlindungan dari panas yang ekstrem, meminimalkan risiko banjir dan kekeringan serta mencegah intrusi air laut,” ujarnya melalui keterangan pers, Jumat (2/2/2024).
Pentingnya lahan gambut disadari memerlukan program proteksi dan restorasi melalui agroforestri.
Program ini yang sudah dijalankan oleh Belantara Foundation di wilayah perhutanan sosial yaitu HKm seluas 93 ha di Desa Jati Mulyo, Kecamatan Dendang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi.
Belantara Foundation melakukan kerja sama dengan Gabungan Kelompok Tani Hutan (Gapoktanhut) Wono Lestari dan pemangku kepentingan setempat yang didukung oleh One Tree Planted, Jejakin dan APP Group.
BACA JUGA: Sejuta Keindahan di Tahura Bandung, dari Eksotisme Tebing Keraton hingga Tingkah Lucu Aneka Fauna
Dolly menambahkan, melalui skema perhutanan sosial, masyarakat lokal di Indonesia dapat memiliki hak untuk mengelola dan memanfaatkan lahan gambut, yang secara bersamaan dapat berkontribusi dalam memulihkan kawasan hutan.
“Skema ini menawarkan kondisi yang memungkinkan untuk restorasi lahan gambut jangka panjang, tidak hanya selaras dengan agenda global dalam mitigasi perubahan iklim tetapi juga mampu mendorong peningkatan sosial ekonomi masyarakat lokal secara berkelanjutan,” ujarnya.
BACA JUGA: Tuding Indonesia Sumber Kabut Asap, Malaysia Surati Menteri LHK Siti Nurbaya
Dijelaskan, salah satu metode yang dapat mendukung pemulihan lahan gambut terdegradasi berbasis masyarakat adalah dengan menanam pohon menggunakan jenis tanaman yang banyak manfaatnya atau MPTS (multi-purpose tree species).
Spesies-spesies tanaman multimanfaat menyediakan banyak manfaat pada lahan yang terbatas, antara lain sebagai sumber pangan, membantu dalam mengatur hidrologi, meningkatkan biomassa, memperbaiki kualitas tanah dan meningkatkan produktivitas lahan terdegradasi.
BACA JUGA: Hancur Terbakar, Ekosistem Savana Gunung Bromo Butuh Waktu Puluhan Tahun untuk Pulih
Sejauh ini, bibit tanaman multi manfaat yang telah ditanam antara lain pinang (Areca catechu), nangka (Artocarpus heterophyllus), jengkol (Archidendron pauciflorum) dan kopi liberika (Coffea liberica).
“Ini adalah salah satu bentuk win-win solution, di mana masyarakat mendapatkan manfaat sosial-ekonomi sekaligus memperbaiki lahan gambut yang terdegradasi,” kata pengajar di Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan ini.