Di berbagai kota besar di Indonesia, semakin lazim kita jumpai anak-anak yang sejak usia dini sudah berbicara dua atau bahkan tiga bahasa. Ada yang lancar bercakap dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa daerah sekaligus.
Fenomena ini bukan lagi hal langka tapi telah menjadi bagian dari gaya hidup sebagian masyarakat urban. Orang tua milenial kini semakin sadar akan pentingnya membekali anak dengan kemampuan multibahasa.
Dalam banyak kasus, bahasa Inggris menjadi pilihan utama sebagai “bahasa kedua” yang diajarkan sejak balita. Tidak jarang pula ditemukan keluarga yang memperkenalkan bahasa asing lain seperti Mandarin, Jepang, atau Arab dalam rutinitas harian anak.
Namun, di balik maraknya tren ini, tersimpan pertanyaan mendasar: apakah penguasaan bahasa kedua sejak dini hanyalah gaya hidup modern, atau sudah menjadi tuntutan zaman yang wajib direspons oleh sistem pendidikan kita?
Globalisasi telah mengubah lanskap komunikasi dan ekonomi secara drastis. Kemampuan berbahasa asing kini menjadi syarat dasar untuk berpartisipasi dalam pasar kerja global.
Bahkan, riset dari World Economic Forum (2020) menyebutkan bahwa bilingualisme menjadi salah satu soft skill yang sangat dibutuhkan di abad ke-21.
Selain aspek ekonomi, multibahasa juga membuka akses terhadap pengetahuan dan kebudayaan dunia. Anak-anak yang terbiasa mengakses informasi dalam lebih dari satu bahasa memiliki kesempatan lebih besar untuk menjadi pembelajar mandiri dan adaptif terhadap perubahan.
Faktanya, anak-anak usia dini berada dalam masa keemasan untuk menyerap bahasa. Para ahli neurolinguistik menyebut fase 0–6 tahun sebagai masa plastisitas tinggi, di mana otak anak sangat tanggap terhadap stimulus bahasa yang beragam (Kuhl, 2011). Ini artinya, mengenalkan dua bahasa atau lebih pada masa ini sangat efektif.
Namun, fenomena multibahasa dini di Indonesia saat ini masih terfragmentasi. Ia berkembang secara sporadis, tergantung pada latar belakang ekonomi, sosial, dan pendidikan orang tua.
Anak-anak dari keluarga berpendidikan tinggi cenderung mendapat paparan bahasa kedua lebih awal, sementara anak-anak di daerah terpencil justru kehilangan bahasa ibu mereka.
Lebih jauh, multibahasa seringkali dianggap sebagai simbol status sosial. Anak yang bisa bahasa Inggris dipandang lebih modern dan berkelas. Sayangnya, pandangan ini bisa mereduksi nilai bahasa lain, termasuk bahasa ibu, menjadi sekadar pelengkap atau bahkan dianggap ketinggalan zaman.
Padahal, multibahasa sejati adalah kemampuan menggunakan lebih dari satu bahasa tanpa merendahkan salah satu. Dalam konteks Indonesia yang kaya akan bahasa daerah, multibahasa harusnya berakar pada keberagaman linguistik lokal, bukan hanya pada bahasa global semata.
Pendidikan anak usia dini (PAUD) memiliki potensi besar untuk mengintegrasikan pendekatan multibahasa secara alami dan kontekstual. Misalnya, mengajarkan anak menyapa dalam bahasa ibu di rumah, menggunakan bahasa Indonesia di sekolah, dan mengenalkan bahasa asing melalui lagu, cerita, atau permainan.
Namun, strategi ini butuh dukungan kebijakan. Tanpa pedoman nasional yang jelas tentang pendidikan multibahasa sejak dini, sekolah dan orang tua dibiarkan meraba-raba. Akibatnya, pendekatan yang muncul bersifat tidak merata dan kadang malah membingungkan anak.
Kekhawatiran umum bahwa anak akan bingung jika belajar dua bahasa sekaligus sebenarnya tidak berdasar.
Penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak mampu membedakan bahasa dan menggunakannya sesuai konteks sosial (Genesee et al., 2004). Justru, bilingualisme sejak dini dapat meningkatkan fleksibilitas kognitif dan kemampuan memecahkan masalah.
Di negara-negara Skandinavia dan Asia Timur, multibahasa menjadi bagian integral dari sistem pendidikan sejak prasekolah. Mereka tidak hanya mengenalkan bahasa asing, tetapi juga memperkuat bahasa nasional dan lokal, sehingga anak-anak tumbuh dengan rasa identitas yang kuat.
Indonesia perlu belajar dari pengalaman tersebut. Pendidikan multibahasa bukan berarti meninggalkan bahasa ibu atau nasional. Sebaliknya, ia memperkuat keterhubungan antara identitas budaya dan kesiapan menghadapi dunia global yang makin terbuka.
Pemerintah daerah dapat mengambil peran dengan mendorong sekolah-sekolah untuk mengembangkan kurikulum multibahasa berbasis lokal.
Program-program inovatif seperti taman baca tiga bahasa atau kelas dongeng multibahasa bisa menjadi langkah awal yang menarik dan inklusif. Lebih dari sekadar mengikuti tren, penguasaan multibahasa adalah investasi jangka panjang dalam pengembangan sumber daya manusia.
Di era ketika batas geografis dan digital semakin kabur, kemampuan memahami dan berkomunikasi lintas bahasa menjadi modal penting.
Tentu, tidak semua anak harus menjadi poliglot. Namun, setiap anak berhak mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensi linguistiknya sejak dini. Dan tugas negara adalah memastikan hak itu terpenuhi secara adil dan merata.
Multibahasa sejak dini seharusnya tidak dilihat sebagai privilese, melainkan sebagai hak anak untuk tumbuh dalam dunia yang kompleks dan beragam. Kita tidak sedang berbicara tentang tren gaya hidup semata, tetapi tentang kebutuhan strategis di tengah dinamika global.
Kini saatnya kita beralih dari diskusi tentang tren ke arah kebijakan. Multibahasa sejak dini harus dipandang sebagai strategi pendidikan yang menyeluruh dan berkeadilan. Jika tidak, kita akan terus melihat kesenjangan linguistik sebagai bayang-bayang dari ketimpangan sosial yang lebih besar.