Konoha-Wakanda Bukti Warga Takut Mengkritik, Pengamat: Saatnya Kampus Jadi Pusat Berpikir Kritis

Al-Qadri Ramadhan
Pakar komunikasi politik dari Universitas Airlangga Suko Widodo. (Foto: Istimewa)
Pakar komunikasi politik dari Universitas Airlangga Suko Widodo. (Foto: Istimewa)

JAKARTA- Masyarakat yang aktif menggunakan media sosial terutama X/Twitter dan Facebook akan sangat familiar dengan kata Wakanda dan Konoha.

Kata ini kerap digunakan netizen untuk menyebut Indonesia secara simbolik dalam per cakapan di media sosial.

Siapa menyangka, dua kata yang awalnya populer digunakan dalam percakapan di media sosial (medsos) tersebut kini menjadi isu sensitif menjelang pemilihan presiden (Pilpres) 2024.

Semua berawal dari pernyataan bakal calon presiden (capres) dari Koaliisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) Anies Baswedan.

BACA JUGA: Jimly Usul Hanya Capres Dipilih Langsung, Cawapres Dipilih MPR

Anies tiba-tiba menyebut kata Konoha dan Wakanda saat mengisi pidato di Kuliah Kebangsaan FISIP UI dengan tema “Hendak ke Mana Indonesia Kita?” Gagasan, Pengalaman dan Rancangan Para Pemimpin Masa Depan” di Kampus UI, Depok, Selasa (29/8/2023).

Mantan gubernur DKI Jakarta itu mengatakan, Konoha dan Wakanda sering disebut masyarakat Indonesia untuk menyampaikan kritik tetapi dengan rasa takut. Bagi dia, demokrasi adalah ketika aspirasi disampaikan tanpa rasa takut, tanpa tekanan.

Hasil penelusuran Quarta. id, Konoha merujuk pada sebuah desa fiksi yang menjadi pusat cerita dalam seri anime dan manga yang terkenal, Naruto.

Sedangkan Wakanda merupakan sebuah negara fiksi yang terletak di Afrika Sub-Sahara yang dibuat oleh Marvel Comics. Negara tersebut adalah kampung halaman dari pahlawan super Black Panther.

BACA JUGA: Anies Pilih Cak Imin Cawapres: Demokrat Meradang, PKS Santuy

Lantas, benarkah pemakaian kata Konoha dan Wakanda bisa disebut bentuk ketakutan warga dalam mengkritik penguasa?

Pakar komunikasi politik dari Universitas Airlangga Suko Widodo tidak membantah penggunaan dua kata tersebut merupakan cara warga dalam mengkritik dengan aman. Apalagi, di negara ini kerap kali kritik warga direspons dengan pendekatan kekuasaan.

“Masih ada yang menggunakan cara kekuasaan dalam menyikapi kritik. Padahal mestinya, kata dibalas dengan kata. Pikiran dibalas dengan pikiran. Bukan dengan rasa marah dan apalagi menghujat,” ujarnya kepada Quarta.id, Jumat (01/09/2023).

Namun, tidak selalu kata simbolik seperti Konoha dan Wakanda dipakai warga karena alasan seseorang takut akan dampak dari kritiknya. Ada kemungkinan orang memakai kata itu karena tidak yakin data atau informasi yang disampaikannya akurat.

“Kedua, bisa jadi pengkritik tidak punya data akurat. Sehingga tak percaya diri terhadap data dan argumentasi yang disampaikan,” lanjutnya.

Ketiga, faktor lingkungan dan kebudayaan bisa ikut memengaruhi penggunaan kata atau bahasa simbolik.

“Orang Timur cenderung tak terbiasa mengkritik langsung. Tak terbiasa dengan tradisi debat,” katanya.

Namun, Suko memandang perlu ada ruang perdebatan yang sehat tempat di mana kritik bisa disampaikan sevara terbuka. Perguruan tinggi atau kampus disebut bisa mulai mentradisikan ruang tersebut.

Di sana setiap orang bisa saling mempertanyakan kesalahan opini atau pendapat. Kampus layak melakukan itu
karena memiliki SDM terlatih dan memiliki metodologi, termasuk dalam menguji visi para kandidat yang akan maju di Pilpres 2024.

“Kampus mesti dikembangkan sebagai pusat berpikir kritis guna mencari kebenaran,” tandasnya.

Di sisi lain, kondisi minimnya ruang untuk menyampaikan kritik ikut diperparah oleh media massa. Menurutnya, banyak media yang hanya mendistribusikan opini kekuasaan bahkan tanpa melakukan cek dan ricek. Media demikian juga dinilai jarang menyatakan sikap kritis terhadap pernyataan kekuasaan.

Ikuti Kami :
Posted in

BERITA LAINNYA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *