JAKARTA, Quarta.id– Kementerian Kesehatan belum lama ini mengungkap laporan skrining bahwa ada 2.716 peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Indonesia yang mengalami gejala depresi.Angka tersebut sama dengan 22,4% dari jumlah total peserta PPDS yang disurvei pada Maret 2024.
Temuan tersebut menuai pembicaraan, khususnya di kalangan organisasi kedokteran seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Lantas, benarkah jika profesi dokter muda rawan depresi? Apa saja faktor-faktor yang berkontribusi terhadap depresi pada profesi ini?
BACA JUGA: Prabowo Ingin Bangun 300 Fakultas Kedokteran Baru, Guru Besar Undip: Indonesia Tak Kekurangan Dokter
Berikut ini penjelasan dari dokter spesialis kesehatan jiwa yang juga anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Nining Gilang Sari disarikan dari laman idionline.or.id, Rabu (8/5/2024).
Menurut Nining yang juga dokter muda ini, untuk menilai depresi atau tidak seorang dokter, itu merupakan tindakan yang panjang, karena harus ada observasi dan wawancara.
“Kalau kita hanya melakukan skrining, itu berarti penahbisan, yang artinya langkah awal. Kita tidak bisa menyebut seseorang itu depresi hanya karena dia mengisi rating scale,” lanjutnya.
BACA JUGA: BPOM Gencar Tertibkan Peredaran Skincare Etiket Biru, Apa Risikonya bagi Kesehatan?
Menurutnya, rating scale ada banyak untuk depresi yang diakui dan divalidasi di Indonesia.
“Kita tidak bisa menentukan seseorang itu mengalami depresi tanpa melihat orangnya. Kalau hanya dari skrining, kita tidak tahu apakah dia salah mencontreng dan ada juga beberapa faktor human error-nya,” kata dokter yang bertugas di RSJ Tampan Provinsi Riau ini.
Disebutkan jika terkait kasus depresi pada dokter spesialis itu ada banyak sekali faktor penyebabnya, salah satunya faktor tekanan. Dokter spesialis setidaknya dituntut untuk menjalani jam kerja yang panjang, kemampuan ekonomi yang cukup, dan lain-lain.
BACA JUGA: WNI Ramai-ramai Berobat ke Luar Negeri, Pakar UI Ungkap Sumber Masalahnya
Dengan kata lain, faktor ekonomi juga bisa jadi penyebab depresi, lalu jam tugas yang tidak tentu waktunya atau bisa dibilang manajemen waktunya mempengaruhi adanya kemungkinan depresi yang muncul saat PPDS.
Apa yang Dilakukan Saat Depresi?
Selain tiga gejala utama depresi, ada gejala tambahan yang kadang-kadang dikeluhkan, seperti kurang konsentrasi, penurunan dan peningkatan napsu makan, perubahan pola tidur, dan yang agak berat adalah keinginan untuk menyakiti dan mengakhiri hidup.
“Kita tahu kalau gejala depresi itu bisa terjadi karena kondisi-kondisi seperti yang sudah disebutkan. Nah, itu yang harus dihindari. Misalnya, kita tahu ada kemungkinan merasa tertekan karena ada senioritas di lingkungan belajar atau dari tingkat pendidikan terasa berbeda perlakuannya,” ujarnya.
Ketika merasakan hal tersebut, kata dia, yang bisa dilakukan adalah berkomunikasi supaya lingkungan kerja menjadi lebih baik.
Dia menyarankan itu dilakukan baik dengan senior, junior, bahkan sampai guru besar. Tujuannya supaya terbentuk suasana yang nyaman dan tidak lagi berada dalam batasan hubungan antara atasan dan bawahan, akan tetapi berada dalam ruang lingkup yang sama untuk memberikan pelayanan kesehatan sambil belajar.
Depresi Bisa Menimpa Siapa pun
Menurut Nining, depresi tidak terbatas hanya menimpa PPDS saja, akan tetapi dokter yang sudah bertemu dengan kondisi profesionalnya juga dapat merasakan hal serupa. Terkadang, tidak sedikit dokter yang merasa tidak berdaya ketika menolong pasien.
BACA JUGA: Heboh Vaksin AstraZeneca Picu Pembekuan Darah, Ini Tanggapan Kementerian Kesehatan RI
“Hampir semua orang dari berbagai kalangan rawan terkena depresi, karena depresi itu tidak memandang orang. Bahkan seseorang yang mungkin hidupnya terlihat baik-baik saja, tidak ada kekurangan, bisa juga mengalami depresi tanpa kita duga sebelumnya,” paparnya.