Indonesia dinilai berada dalam kondisi darurat pengelolaan sampah. Regulasi, aspek penganggaran dan belum terbangunnya kesadaran yang masif, bejalin kelindan menciptakan tata kelola sampah yang buruk.Adakah terpilihnya presiden baru memberi asa pada perbaikan pengelolaan persampahan di Indonesia ?
Hampir dua dekade sejak insiden pada Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah Leuwigajah di Cimahi, Jawa Barat, yang berujung pada tewasnya I57 orang warga di sekitar TPA.
Hujan yang turun dengan intensitas tingga kala itu, menyebabkan konsentrasi gas metana meningkat lalu menjadi pemicu terjadinya ledakan dahsyat.
Kejadian yang kemudian diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) setiap tanggal 21 Februari.
Tak berhenti sampai disitu, rentetan kejadian seperti 35 kebakaran areal TPA tahun 2023 lalu (Data KLHK) serta terganggunya kualitas lingkungan di TPA hingga hari ini, menjadi alarm darurat untuk menjadikan isu persampahan sebagai arus utama.
BACA JUGA: Program Kerja Capres Bidang Kesehatan Perlu Selaras dengan Agenda Utama WHO 2024
Belum lagi, isu-isu strategis seperti global warming dan perubahan iklim yang menjadi pembicaraan serius di tingkat global.
19 tahun berlalu pasca “Tragedi Leuwigajah” yang menghilangkan dua desa itu, apakah ada tanda-tanda keseriusan kita mengatasai masalah persampahan di Indonesia?.
Lalu, sejauhmana pergantian rezim pasca Pilpres 2024 memberi harapan terhadap sistem pengelolaan sampah kita?
BACA JUGA: Debat Malam Ini, Tiga Cawapres Adu Gagasan soal Lingkungan Hidup, Energi, Pangan, dan Agraria
Mencoba menengok kebelakang, fakta bahwa sistem kumpul, angkut dan timbun (open dumping) masih menjadi paradigma umum dalam pengelolaan persampahan pada beberapa wilayah di Indonesia. Data terakhir KLHK menyebut 35 persen TPA masih menerapkan sistem open dumping.
Di satu sisi, Indonesia adalah penghasil sampah terbesar kedua di dunia dengan 65 juta ton sampah setiap tahunnnya. Dari jumlah tersebut, 24% mengotori ekosistem, 69% lainnya berakhir di TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) dan tidak sampai 10 persen yang bisa didaur ulang
Akademisi dan Peneliti Institut Teknologi Bandung, Nurrohman Wijaya dalam sebuah wawancara dengan Quarta.id, Desember 2023 lalu menyebut, masih maraknya sistem open dumping di TPA menjadi tolok ukur belum adanya political will menjadikan masalah persampahan sebagai isu arus utama.
BACA JUGA: Disorot Kembali Pada Podcast Deddy Corbuzier, ini Fakta Bahaya Sedotan Kertas
Sementara menurut Peneliti dari Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB itu, akibat buruk dari pengelolaan sampah dengan sistem open dumping telah dipublikasi oleh berbagai penelitian ilmiah.
Nurrohman mencontohkan, dampak buruk sistem open dumping dalam jangka pendek seperti ledakan dan kebakaran, pencemaran air lindi, paparan mikroplastik di udara dan penurunan kualitas lingkungan di sekitar TPA.
Sementara dalam jangka panjang, sampah di TPA yang tercampur antara organik dan non organik, adalah pemicu utama meningkatnya global warming.
“Material organik yang bertahan lama dan tidak dikelola dengan baik akan menghaiilkan gas methan (CH4), yang akan menyebabkan kebakaran dan ledakan serta berkontribusi terhadap pemanasan global,” ucap Nurrohman.
BACA JUGA: Kebakaran di TPA Marak Terjadi, Dosen dan Peneliti Institut Teknologi Bandung Ingatkan ini!
Hal yang sama disampaikan oleh lembaga Alainsi Zero Waste Indonesia (AZWI). “Kandungan metan juga berbahaya bagi manusia. Ia memiliki potensi 25 kali lebih beracun dari karbon dioksida,” tulis laman aliansizerowaste.id.
“Tidak hanya berbahaya bagi paru-paru manusia, gas metana jika tak memperoleh pasokan oksigen cukup dan tertimbun dalam waktu lama, dapat beralih rupa menjadi pemicu ledakan,” lanjut laman itu.
Direktur Eksekutif Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB), David Sutasurya yang juga menjadi steering committee dari Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), memberi penekanan pada komitmen pemerintah dalam menghadirkan sistem persampahan yang berkualitas.
BACA JUGA: Sampah Organik dilarang Masuk TPA Sarimukti, Akademisi ITB Sampaikan ini!
“Perhatian terhadap tata kelola sampah masih sangat rendah, pemerintah daerah maupun pusat, terjebak memangkas persoalan dipucuk yang sifatnya teknis, seperti penggunaan teknologi pengelolaan yang sebenarnya tidak menyelesaikan masalah karena masalah sampah sangat kompleks sehingga butuh pendekatan komprehensif,” ucap David kepada Quarta.id, Selasa (20/2/2024).
David mencontohkan, aspek perilaku yang harusnya didorong, tidak bersinergi dengan ketersediaan regulasi, sistem dan SDM yang mendukung.
“Ambil contoh di Kota Bandung dengan 500 ribu rumah tangga, kita ingin 500 ribu itu memilah, siapa yang bertanggungjawab memastikan bahwa 500 ribu itu betul-betul memilah sebelum dibawa ke TPA?,” lanjut David.
Fenomena yang sama dirasakan oleh pegiat lingkungan dari Selayar Bebas Sampah Plastik (SBSP) di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan.
BACA JUGA: Ramai Pandawara Group vs Kades di Sukabumi, Pj. Gubernur Jawa Barat Turun Tangan
Kampanye memilah dari rumah, oleh SBSP dinilai tidak terintegrasi dengan sistem pengelolaan, semisal dalam pengangkutan yang justru tidak memisahkan sampah sesuai kategori.
“Jadi ada missing link antara upaya penyadaran yang kita lakukan dan sistem yang berlaku,” ucap Sakinah Nur selaku co-founder SBSP kepada Quarta.di Rabu (21/2/2024).
Belum terintegrasinya anatara regulasi, sistem dan aspek kesadaran menyebabkan TPA di banyak kota besar di Indonesia overload. Catatan Quarta.id TPA overload terjadi di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Makassar.
Dorongan Mandatory Spending Anggaran Pengelolaan Sampah
Fakta lain adalah rendahnya komitmen pemerintah dalam hal alokasi anggaran pengelolaan sampah.
“Di Indonesia penganggaran pengelolaan sampah hanya dilevel nol koma sekian persen. Bandung saja hanya 3 persen, sementara, idealnya ada di angka 10 persen seperti halnya di negara maju,” beber David Sutasurya dari AZWI.
BACA JUGA: Lakukan Penelitian di Kepulauan Selayar, Akademisi Ini Ingatkan Bahaya Mikroplastik
Aliansi Zero Waste Indonesia mendorong mandatory spending anggaran pengelolaan sampah sebagai bentuk keseriusan pemerintah baik daerah maupun pusat.
“Menetapkan pengelolaan sampah sebagai layanan dasar melalui perubahan UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta anggaran minimal yang layak untuk pengelolaan sampah di dalam Undang-Undang Pengelolaan Sampah,” demikian rilis AZWI pada 19 Januari 2024 lalu.
Rekoemndasi AZWI untuk Presiden Terpilih
Terpilihnya presiden dan wakil presiden yang baru, setidaknya memberi angin segar akan adanya kebijakan revolusioner pada sistem pengelolaan sampah di Indonesia.
Adapun Aliansi Zero Waste Indonesia memberikan poin-poin rekomendasi untuk perbaikan sistem pengelolaan sampah di seluruh Indonesia, sebelum debat capres lalu.
Poin-poin tersebut dipublikasi pada laman resmi Aliansi Zero Waste Indonesia, aliansizerowaste.id sebagai berikut:
Lalu, mampukah presiden terpilih nantinya menghadirkan secercah harapan untuk perbaikan tata kelola sampah atau justru membiarkan TPA terus menjad “bom waktu” dan menjadi ancaman nyata untuk hidup dan kehidupan manusia, kini dan dimasa depan?