Kontroversi Gelar Doktor HC Raffi Ahmad, Pengamat Unair: Tak Bisa Diberikan Sembarangan

Al-Qadri Ramadhan
Raffi Ahmad (Foto: Instagram)
Raffi Ahmad (Foto: Instagram)

SURABAYA, Quarta.id–  Pemberian gelar doktor honoris causa (HC) untuk selebritas papan atas Raffi Ahmad terus menuai kontroversi. Gelar HC untuk Raffi diberikan oleh Universal Institute of Professional Management (UIPM).

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dengan tegas menyatakan tidak mengakui pemberian gelar HC tersebut karena tidak sesuai peraturan di Indonesia.

BACA JUGA: Kolaborasi ITB, UI dan Universitas Hasanuddin Edukasi Anak Muda di Kepulauan Selayar Jadi Pribadi Melek Bencana

Pengamat kebijakan pendidikan dari Universitas Airlangga (UNAIR) Agie Nugroho Soegiono S mengatakan,  proses pemberian gelar HC bukan sesuatu yang bisa dilakukan sembarangan. 

Agie menjelaskan pemberian gelar doktor kehormatan memerlukan prosedur yang panjang dan ketat. Pemberian gelar itu terdapat dalam Permendikbud Nomor 65 Tahun 2016. Satu di antara peraturannya, program studi yang memberikan harus sudah terakreditasi A atau unggul.

BACA JUGA: Tim Peneliti Berhasil Temukan Lukisan Gua Tertua di Indonesia

“Ada syarat-syarat yang sangat spesifik dan ketat yang harus terpenuhi. Regulasi menekankan bahwa gelar HC hanya dapat diberikan kepada individu yang telah memberikan kontribusi signifikan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan kemanusiaan,” jelas dosen FISIP UNAIR itu dilansir laman unair.ac.id, Selasa (8/10/2024).

Seseorang dengan gelar doktor disebut harus memiliki kriteria yang terdeskripsi dalam Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) level 9 yang ada dalam Peraturan Presiden No 8 Tahun 2012. Misalnya, seorang doktor harus mampu mengembangkan pengetahuan, teknologi, dan/atau seni baru di dalam bidang keilmuannya. Atau praktik profesional melalui riset, hingga menghasilkan karya kreatif, original, dan teruji.

BACA JUGA: Hari Air Sedunia, Peneliti UGM Ungkap Bahaya Logam Berat yang Cemari Sungai di Yogyakarta

Lebih lanjut, Agie menjelaskan bahwa pemberian gelar kehormatan harus melalui usulan dari senat akademik kepada pimpinan universitas.

Pimpinan universitas kemudian mempertimbangkan rekomendasi dari senat yang melakukan uji kelayakan dan menyusun tim promotor sesuai dengan bidang ilmu calon penerima.

Adapun uji kelayakan meliputi rekam jejak prestasi, sambungnya, kontribusi yang sudah terbukti, serta dampak bagi masyarakat.

BACA JUGA: Rektor ITB Bagikan Tips “AIR”, Kiat Sukses Anak Muda Indonesia di Masa Depan

Proses ini mencakup penilaian yang sangat teliti dengan melibatkan berbagai pihak. Hal itu untuk memastikan bahwa penerima gelar HC benar-benar layak dan memiliki reputasi yang baik.

“Ini menunjukkan bahwa gelar HC tidak hanya diberikan berdasarkan gelar akademik. Tetapi juga pada kontribusi nyata dalam pengembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan,” kata Agie.

BACA JUGA: Ratusan Anak Jalani Cuci Darah Diduga Dipicu Makanan Berpemanis, BPKN Bentuk Tim Pencari Fakta 

Agie menekankan bahwa institusi pendidikan harus lebih berhati-hati dalam memberikan gelar doktor kehormatan dan haruslah memperhatikan dampak bagi masyarakat. 

“Kampus perlu memastikan bahwa karya atau hasil kerja seseorang yang diusulkan untuk menerima gelar HC tidak hanya diakui secara formal tetapi juga dapat dipertanggungjawabkan. Transparansi dalam proses ini sangat penting untuk menjaga kredibilitas dan integritas institusi pendidikan,” tandasnya.

Ikuti Kami :
Posted in

BERITA LAINNYA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *