JAKARTA, Quarta.id– Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan perkara sengketa Pilpres 2024 yang diajukan dua Pemohon, yakni Pasangan Calon Nomor Urut 1 Anies Baswedan -Muhaimin Iskandar, dan Pasangan Calon Nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Putusan ini dibacakan MK dalam persidangan di gedung MK, Jakarta, Senin (22/4/2024).
Saat membacakan putusan untuk permohonan Ganjar-Mahfud, MK menyampaikan dalil Pemohon bahwa Presiden Jokowi melakukann nepotisme dan melahirkan abuse of power yang terkoordinasi dengan tujuan memenangkan Pasangan Calon Nomor urut Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, tidak terbukti.
BACA JUGA: Tiga Hakim MK Juga Dissenting Opinion pada Putusan MK yang Menolak Permohonan Ganjar- Mahfud
“Ditambah pula Mahkamah tidak mendapatkan bukti yang meyakinkan peristiwa yang dikatakan memberikan dampak secara nyata memengaruhi para pemilih pada suatu wilayah. Bahkan Pemohon dalam persidangan tidak dapat membuktikan pengaruh signifikansinya terhadap perolehan suara masing-masing pasangan calon,” demikian Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan dikutip dari laman mkri.id.
“Dikarenakan tidak didukung dengan bukti lain yang meyakinkan Mahkamah dengan berbagai peristiwa tersebut, maka adanya migrasi perolehan suara yang merugikan Pemohon dan menguntungkan Pihak Terkait tersebut tidak beralasan menurut hukum,” urai Suhartoyo.
BACA JUGA: Bacakan Dissenting Opinion, Saldi: Seharusnya MK Perintahkan Pemungutan Suara Ulang
Namun, terkait keterlibatan Jokowi dalam mengampanyekan Prabowo-Gibran, Hakim Konstitusi Arief Hidayat memiliki pandangan berbeda. Hal itu disampaikan Arief saat menyampaikan dissenting opinion atau perbedaan pendapatnya di persidangan.
Arief memaparkan sejak Pilpres 2004, 2009, 2024, dan 2019 tidak pernah ditemukan pemerintahan yang turut campur dan cawe-cawe dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
BACA JUGA: Hakim Arief: Presiden Jokowi Terang-terangan Tidak Netral, Harusnya Pemungutan Suara Ulang
Akan tetapi, kata dia, pada Pemilihan Presiden 2024 terjadi hiruk pikuk dan kegaduhan yang disebabkan secara terang-terangan Presiden dan aparaturnya bersifat tidak netral bahkan mendukung pasangan calon tertentu.
“Apa yang dilakukan Presiden seolah-oleah mencoba menyuburkan spirit politik dinasti yang dibungkus oleh virus nepotisme sempit yang berrpotensi mengancam tata nilai demokrasi ke depan,” ujarnya.