Di era digital saat ini, tidak jarang kita melihat balita yang fasih menyanyikan lagu “Twinkle, Twinkle, Little Star” dari YouTube, sementara orang tuanya justru kesulitan menyusun kalimat sederhana dalam bahasa Inggris.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa media digital mulai dari kartun, lagu, hingga video pendek sering kali mengambil peran sebagai “guru” pertama dalam penguasaan bahasa Inggris anak usia dini. Pertanyaannya, apakah hal ini merupakan peluang emas yang patut dirayakan, atau justru sebuah alarm yang perlu diwaspadai dengan serius?
Dari sisi harapan, media digital memiliki potensi besar untuk mempercepat akuisisi bahasa. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang terekspos pada konten berbahasa asing melalui tontonan dan musik mampu menyerap kosakata baru dengan lebih cepat.
Linebarger dan Walker (2005), misalnya, menemukan bahwa tayangan edukatif dapat meningkatkan kosakata anak prasekolah secara signifikan. Survei Google & Kantar (2024) juga melaporkan bahwa orang Indonesia rata-rata menonton YouTube hingga empat jam per hari, sementara anak-anak usia 2–12 tahun menghabiskan sekitar 160 menit per hari di platform tersebut.
Angka ini, meskipun mengkhawatirkan jika berlebihan, sebenarnya dapat menjadi peluang jika diarahkan pada konten yang tepat. Anak-anak bukan hanya mendengar kosakata baru, tetapi juga memperoleh paparan pada pelafalan otentik, intonasi natural, dan konteks visual yang mendukung pemahaman, seolah-olah mereka belajar langsung dari penutur asli.
Namun, di balik optimisme tersebut, terdapat kekhawatiran yang tidak bisa diabaikan. Realitas di Indonesia menunjukkan bahwa budaya literasi di rumah masih rendah.
Survei Tanoto Foundation (2024) mencatat bahwa 51,2 persen anak tidak memiliki buku cerita di rumah, dan lebih dari separuh orang tua (56,6 persen) tidak pernah membacakan buku untuk anaknya. Kondisi ini memperlihatkan bahwa media digital sering kali menggantikan buku, padahal membaca menghadirkan pengalaman imajinatif dan kedekatan emosional yang tidak dapat sepenuhnya diberikan oleh layar.
Lebih jauh lagi, penelitian di Bogor yang dilakukan Universitas Pahlawan (2023) menunjukkan adanya hubungan antara intensitas menonton YouTube dengan keterlambatan bicara (speech delay) pada anak usia dini, terutama ketika aktivitas tersebut tidak disertai pendampingan orang tua. Dengan kata lain, jika digunakan tanpa kontrol, media digital justru bisa membuat anak pasif dan kurang terlatih mengolah bahasa secara mendalam.
Kenyataannya, media digital bukanlah entitas yang sepenuhnya baik atau buruk. Ia bisa menjadi akselerator pembelajaran bahasa yang luar biasa, namun juga berpotensi membawa dampak negatif jika digunakan secara berlebihan dan tanpa pengawasan.
Kuncinya terletak pada peran orang tua dan guru. Konten yang berkualitas jauh lebih penting daripada sekadar lamanya waktu menonton, sehingga pemilihan tontonan edukatif akan lebih bermanfaat daripada video acak.
Pendampingan aktif dari orang tua juga sangat menentukan, karena dengan berdialog dan mengulang kosakata yang didengar anak, proses belajar menjadi lebih bermakna. Selain itu, keseimbangan dengan buku cerita tetap diperlukan, sebab buku memberikan dimensi pengalaman kognitif dan afektif yang tidak tergantikan oleh layar digital.
Pada akhirnya, media digital sebagai “guru bahasa Inggris” pertama bagi anak usia dini adalah pisau bermata dua. Ia menyimpan harapan besar dalam mempersiapkan generasi yang siap menghadapi tantangan global, namun juga mengandung kekhawatiran nyata jika dibiarkan tanpa arahan.
Oleh karena itu, media digital sebaiknya diposisikan bukan sebagai pengganti, melainkan sebagai pendamping buku cerita dan interaksi nyata. Sebab, yang paling menentukan bukanlah layar atau lembaran buku itu sendiri, melainkan bagaimana orang dewasa di sekitar anak menuntun proses belajarnya dengan bijaksana.
Mutiara Ayu, dosen pendidikan bahasa Inggris di Fakultas Sastra dan Ilmu Pendidikan Universitas Teknokrat Indonesia, Bandar Lampung. Saat ini aktif meneliti isu literasi dan multibahasa di lingkungan pendidikan dasar dan anak usia dini (PAUD)