SURABAYA, Quarta.id– Diabetes salah satu tantangan kesehatan terbesar di Indonesia karena menjadi penyebab kematian ketiga setelah stroke dan penyakit jantung.
Pada 2021, tercatat ada 19,5 juta orang yang mengidap diabetes, dan diprediksi akan meningkat menjadi 28,6 juta orang pada tahun 2045. Angka ini menempatkan Indonesia di antara lima negara dengan kasus diabetes terbanyak di dunia.
Media massa memiliki peran penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu kesehatan, termasuk diabetes.
BACA JUGA: Ibu-ibu Wajib Tahu, Ini Kiat Merawat Anak Pengidap Diabetes Melitus Tipe 1
Melalui artikel dan berita yang diterbitkan, media dapat memberikan informasi yang akurat, mengubah sikap dan pandangan masyarakat, serta mendorong perilaku hidup sehat.
Namun, bagaimana sebenarnya media massa Indonesia menggambarkan diabetes?
Dilansir di laman unair.ac.id, sebuah studi telah meneliti bagaimana diabetes dilaporkan oleh dua media online terkemuka di Indonesia. sepanjang 2023.
Penelitian dengan judul “The portrayal of diabetes in the Indonesian online press: a corpus-based discourse study” ini diilakukan oleh Restu Santyarini dan Muchamad Sholakhuddin Al Fajri.
BACA JUGA: BRIN Kembangkan Inovasi Bidang Kesehatan, Salah Satunya Obat Baru untuk Penderita Diabetes
Penelitian ini menggunakan metode analisis diskursus berbasis korpus untuk memahami penggunaan bahasa dalam artikel-artikel tersebut.
Penelitian menemukan bahwa kata-kata seperti “penderita”, “pengidap”, dan “pasien” sering digunakan untuk menggambarkan orang dengan diabetes.
“Kata-kata ini cenderung memberikan kesan negatif dan membuat mereka terlihat sebagai korban pasif yang tidak memiliki kontrol atas kondisi mereka. Sebaliknya, penggunaan istilah yang lebih positif seperti “orang dengan diabetes” dapat membantu mengurangi stigma dan memberikan gambaran yang lebih memberdayakan,” ujar Muchamad Sholakhuddin Al Fajri dikutip Kamis (18/7/2024).
BACA JUGA: Hati-hati Bunda, Ini Penyebab Makin Banyak Anak Terkena Diabetes!
Dijelaskan, media sering mengaitkan diabetes dengan kata “penyakit”. Hal ini memperkuat kesalahpahaman dan asosiasi negatif, membingkai diabetes semata-mata sebagai kondisi patologis daripada kondisi kronis yang memerlukan manajemen seumur hidup.
Selain itu, kata “risiko” dan “berisiko” sering muncul, menunjukkan pentingnya tindakan pencegahan dan intervensi kesehatan masyarakat. Media juga menyoroti pentingnya pemantauan gula darah dan mengenali gejala diabetes.
Dengan seringnya istilah ini muncul, masyarakat menjadi lebih sadar akan langkah-langkah pencegahan yang dapat diambil untuk mengurangi risiko terkena diabetes.
BACA JUGA: Mudah Dilakukan, Ini Manfaat Senam Lansia, Diantaranya Memperbaiki Kesehatan Jiwa
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa media kurang menyoroti faktor-faktor struktural yang berkontribusi terhadap diabetes, seperti ketersediaan makanan sehat, ketersediaan informasi kadar gula di setiap kemasan makanan dan minuman, akses ke fasilitas olahraga, dan pendidikan kesehatan.
Padahal, isu-isu ini sangat penting untuk dipahami agar masyarakat dapat melihat gambaran yang lebih lengkap tentang penyebab dan cara mengatasi diabetes.
Fokus yang lebih besar pada solusi struktural dapat membantu masyarakat memahami bahwa diabetes bukan hanya masalah individu tetapi juga masalah yang membutuhkan perhatian dan intervensi dari pemerintah.
“Agar informasi yang disampaikan lebih seimbang dan menyeluruh, media diharapkan dapat menggunakan bahasa yang lebih memberdayakan,” lanjutnya.
BACA JUGA: Megawati Sebut Ketergantungan pada Beras Picu Banyak Orang Diabetes, Pakar IPB Beri Penjelasan
Media dapat mengganti istilah seperti “penderita” atau “pengidap” dengan “orang dengan diabetes” untuk mengurangi stigma dan memberikan pandangan yang lebih positif.
Kedua, media bisa memperbanyak artikel yang membahas peran lingkungan dan kebijakan dalam pencegahan dan penanganan diabetes, seperti bagaimana akses ke makanan sehat dan fasilitas olahraga dapat membantu menurunkan prevalensi diabetes.