(OPINI) Kalau Semua Disemen, Ke Mana Air Akan Pergi?

Redaksi
Muhammad Hakiem Sedo Putra, S.T., M.T.
Dosen Rakayasa Tata Kelola Air Terpadu, Institut Teknologi Sumatera (Itera)
Ahli Hidrologi Forensik – Sumberdaya Air. (Foto: Dok. Pribadi)
Muhammad Hakiem Sedo Putra, S.T., M.T. Dosen Rakayasa Tata Kelola Air Terpadu, Institut Teknologi Sumatera (Itera) Ahli Hidrologi Forensik – Sumberdaya Air. (Foto: Dok. Pribadi)


Setiap kali hujan turun deras di kota-kota Indonesia, kita tahu apa yang akan terjadi. Air tergenang di jalan, kendaraan tersendat, sekolah diliburkan, dan warganet mulai berbagi foto banjir dari berbagai sudut kota. Semua ini terasa rutin, nyaris jadi bagian dari “musim”.

Tapi di balik itu, ada pertanyaan yang terus mengganggu: kenapa kita masih saja kebanjiran? Dan lebih dalam lagi: ke mana sebenarnya air itu bisa pergi?

Jawabannya sering kali lebih sederhana dari yang kita kira—air tidak punya tempat untuk pergi karena kota-kota kita terlalu banyak disemen. Halaman rumah yang dulu berumput, kini dipaving demi parkir mobil. Lahan kosong dijadikan ruko. Sungai dipersempit.

Tanah pelan-pelan kehilangan haknya untuk menyerap air. Dan ketika semuanya kedap air, kemana air hujan akan mengalir? Ia hanya bisa memantul dan meluap—mencari jalan yang paling mudah. Kadang ke selokan, kadang ke rumah kita sendiri.

Beton dan aspal memang simbol kemajuan. Tapi kita lupa bahwa kota tidak dibangun untuk hanya menolak alam.

Air tidak bisa dimusuhi, hanya bisa dikelola. Dan salah satu bentuk pengelolaan air yang paling sehat adalah memberinya ruang—tempat untuk masuk ke tanah, mengisi akuifer, atau mengalir secara alami.

Namun kita, sebagai manusia kota, terlalu takut pada kekacauan sehingga memilih jalan instan: tutup semuanya dengan beton. Rapi, cepat, “modern”. Padahal justru di situlah awal mula kekacauan terjadi.

Saya tidak sedang membela tanah becek atau jalan berlubang. Tapi saya percaya bahwa kota yang baik bukan yang paling banyak permukaannya dibeton, melainkan yang paling tahu kapan harus membiarkan air menetap sebentar.

Kota yang ramah air adalah kota yang menyediakan ruang terbuka hijau, taman serapan, saluran air yang hidup, dan budaya warganya yang tidak tergesa-gesa menyingkirkan air. Kota yang sadar bahwa hujan bukan bencana, tapi berkah—asal diberi tempat.

Sayangnya, dalam banyak perencanaan kota kita, air justru dianggap musuh. Kita bangga membangun tanggul, pompa raksasa, atau kanal-kanal beton, tetapi lupa memelihara sungai sebagai makhluk hidup.

Kita menata kota berdasarkan batas administratif, bukan berdasarkan pola aliran air. Di banyak tempat, sungai bahkan dipunggungi oleh bangunan. Padahal sungai seharusnya menjadi wajah kota, bukan belakang rumah yang dibuang.

Kondisi ini bukan semata soal teknis drainase. Ini soal budaya dan arah pembangunan. Kita tidak akan bisa menyelesaikan persoalan banjir jika tidak menyentuh cara kita memandang tanah, air, dan ruang.

Bahkan, kita mungkin perlu merevisi impian kita tentang kota ideal: bukan lagi sekadar modern dan bersih, tapi juga bisa bernapas dan menyerap.

Membangun kota yang ramah air bukan berarti anti-beton, tapi tahu kapan dan di mana tidak menggunakannya. Banyak kota di dunia mulai menerapkan prinsip sponge city—kota yang mampu menyerap air seperti spons.

Caranya? Bangun taman-taman resapan, atur ulang tata guna lahan, wajibkan perkerasan berpori, dan jaga kawasan tangkapan air di hulu. Ini bukan utopia. Singapura, Tokyo, dan bahkan kota-kota kecil di Belanda sudah melakukannya. Pertanyaannya: kapan Indonesia mulai?

Mungkin kita perlu memulai dari pertanyaan paling mendasar: kalau semua disemen, ke mana air akan pergi?

Ikuti Kami :
Posted in

BERITA LAINNYA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *